Gue waktu kelas sepuluh (Kelas 1 SMA) memang dikenal sebagai The Master Of 4L4Y. Mungkin bagi yang belum
ngerti cara membaca 4L4Y, bacanya Empat El Empat Ye. Itu cara baca yang salah,
yang benar itu ALAY.
Alay memang sebuah fenomena yang terjadi pada waktu itu.
Dulu waktu gue masih kelas sepuluh sih, itu gue anggap sebagai trend. Tapi sekarang gue anggap itu sebagai penyakit. Gimana nggak? Kalo Alay nulis status di Facebook, bias ngerusak mata.
Dulu waktu gue masih kelas sepuluh sih, itu gue anggap sebagai trend. Tapi sekarang gue anggap itu sebagai penyakit. Gimana nggak? Kalo Alay nulis status di Facebook, bias ngerusak mata.
Contohnya aja “AqqUEhChAYanKqMuEhClaLuE” itu salah satu
dari beribu-ribu status alay yang nyangkut diberanda gue yang pengen gue delete
aja tuh status.Selain status Facebook, ada juga salah satu kawan gue yang ada
di Facebook yang namanya super-duper Alay. Gue ambil contoh
“RisNhayAnGbEncIDyAThapIChAyaNKDyA” mungkin pemilik nama ini anaknya super alay
plus labil men.
Sangat memprihatinkan memang, tapi sebenarnya fungsi
dari Alay adalah meramaikana cara-acara yang ada di TV.Coba kita perhatikan acara
DahSyat dan PESBUKER, itu anak-anak Alay yang meramaikan acara itu.Jadi, kalo loe
bener-bener merasa diriloe ALAYER sejati, loe harusnya ikut acar-acara begituan
dan make over diriloe seperti anak-anak
Alay itu. Plus mengikuti instruksi dari pengarah acaraseperti: Menggoyang-goyangkan
kedua tangan dibawah sebelah kiri yang seperti orang nyuci baju diterusin tangan
keatas menyerong kekanan sambil bilang “Lalalayeyeyelalalayeyeyelalalayeyeye”
sampai acara dahSyat itu habis.
Satu
kebanggan jadi
anak Alay adalah bisa
masuk TV.Apalagikalo udah rutin, bisa dapetduit 100 ribus.d 200 ribu per hari,
lumayankan buat nambah uang jajan sama uang pulsa. Itusih yang gue tau dari acara-acara
TV yang menayangkan tentang seluk-beluk ALAY.
Dulu sih waktu gue ALAY, obsesi gue bukan itu.Tapi,
lebih kearah keunikan menulis dalam pesan singkat. Tulisan itu gue anggap unik dan
menarik untuk diikuti.Tapi sekarang gue memutar otak, ternyata semua itu cuma meribetkan
diri sendiri dan merusak mata si pembaca sms yang kita kirim.
Gue salut sama anak-anak Alay. Mereka ga malu meskipun
mereka Alay. Waktu gue kelas sepuluh, gue pernah bangga jadi Alay. Sampai-sampai
gue bilang gini ke kawan gue “Ya dong, kan gue Alay” terus mereka jawab ”Ih jadi
Alay bangga, najis gue mah”. Bayangin aja, Alay = Najis. Berarti anak-anak Alay
itu berani menerima cemoohan, cacian dan makian dari masyarakat sekitar
(Ciaelah, udah kayak Sosiolog aja gue).
Tapi di Indonesia, Alay adalah proses pendewasaan diri.
Di Indonesia tingkatan usianya adalah Balita - Anak-anak - Remaja - ALAY -
Dewasa. Mungkin tingkatan itu sudah sering diucapkan oleh Raditya Dika dan
Abdel di acara Stand Up Comedy, tapi itulah kenyataannya. Dibalik statement ini, timbul sebuah pertanyaan dari dlm diri gue.
Kalo Alay adalah proses pendewasaan diri, berapa eksemplar
Alay yang akan terbit dikemudian hari?
Kalo Alay adalah proses pendewasaan diri, berapa eksemplar
Alay yang akan terbit dikemudian hari?
Kalo pendapat Guru Bahasa Indonesia gue, Bu
Ely.“Alay itu merusak bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dari cara berbicaranya
saja tidak beda jauh sama orang yang sedang masuk angin. Terus, cara menulis pesan
singkatnya juga mencampurkan angka dan simbol seperti: D@12! (Dibaca:Dari).
Dari ucapan guru gue itu juga yang membuat gue menanggalkan
almamater kealayan gue.
No comments:
Post a Comment