Sunday, September 27, 2015

Namaku Duma

Mentari mulai menampakan diri. Hari itu adalah hari dimana laporan hasil belajar adik ku dibagikan. Tidak seperti biasanya, aku meminta izin kepada atasan ku agar dapat datang ke sekolah dan mengambil laporan hasil belajar adik ku.

Oh, iya. Aku Duma. Gadis yang memiliki harapan untuk dapat menyekolahkan adik ku ke jenjang yang lebih tinggi daripada aku, meskipun aku hanya lulusan SMA. Aku menggantikan posisi ibu ku. Ya, ibu ku sudah meninggal sejak aku berumur 18 tahun. Namun, aku bertekad dapat mewujudkan apa yang aku harapkan.

Aku dan adik ku berangkat sekitar pukul tujuh pagi. Berhubung sekolah adik ku tidak jauh, kami hanya berjalan kaki.
'Kak, kakak baik deh. Udah mau ngambilin rapor aku' kata adik ku sumringah.
'Iya, apa sih yang engga buat kamu' kata ku sambil mencubit pipi Ariska, adik ku.

Selama di perjalanan, aku melihat lalu lalang wali murid yang siap menghadap guru dari anaknya. Kaki ini pun terus melangkah hingga masuk ke kelas 2B. Di kelas itu masih sepi dan baru ada satu wali murid yang menunggu di meja paling depan.

Tidak lama kemudian, satu per satu para orang tua murid berdatangan masuk ke kelas yang aku masuki. Ada sekitar tiga puluh wali murid yang hadir di dalam kelas. Dan wali kelas yang kami tunggu, datang

Berdasarkan nomor urut absen yang sudah ditandatangani, para wali murid mengantri dengan tertib hingga nomor antriannya dipanggil oleh wali kelas.
'Ibu Duma!' Seru bu Ningsih, wali kelas adik ku.
'Iya, bu. Saya' aku pun maju ke hadapan meja guru.
'Maaf, bu. Saya kakaknya, jadi panggil saya Duma saja' kata ku sambil duduk di depan meja guru.
'Oh, iya. Maaf saya kira bibinya' kata bu Ningsih sambil tersenyum. Setelah itu bu Ningsih menjelaskan bagaimana sikap dan nilai Ariska kepada ku.

Ditengah penjelasan bu Ningsih, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang berlari menuju meja guru dan dengan polosnya dia bilang 'Bu Ningsih, Orang tua aku sudah meninggal. Lalu bagaimana aku mengambil rapor? Aku tidak punya kakak seperti kakaknya Ariska yang bisa mengambilkan rapor aku'. Tanpa disadari, mata ku yang menatap dirinya, mulai berkaca-kaca.
'Kamu punya om atau tante, Bima?' Kata bu Ningsih.
'Om dan tante aku baru pulang seminggu yang lalu, bu guru. Aku sekarang tinggal sama nenek. Tapi nenek aku ga bisa jalan. Terus aku ngambil rapornya gimana?' Sebelum bu Ningsih menjawab, aku langsung menjawab pertanyaan Bima tadi 'Nanti, kakak ambilkan untuk kamu, ya. Bu apakah bisa saya ambilkan rapornya?'
'Hmm... ya boleh saja, jika tidak ada yang mewakilkan' jawab bu Ningsih
'Terima kasih, bu'

Setelah bu Ningsih mengizinkan aku untuk mewakili wali muridnya, Bima yang sebelumnya sedih nada bicaranya menjadi ceria. Aku mengantarkan Bima pulang terlebih dahulu. Selama di perjalanan, aku bingung. Mengapa dia mengajak aku ke arah pemakaman. 'Kak, kesini dulu ya, aku mau ngasih tau ibu aku. Kalo aku juara kelas, supaya ibu senang di sana' Bima menuntun aku ke dekat batu nisan ibunya dan seakan bercerita kepada ibunya 'Bu, lihat deh. Aku juara kelas, ibu pasti senang kan? Bu, aku janji, aku akan selalu berdoa untuk ibu, dan aku akan jadi dokter untuk menyembuhkan nenek. Semoga ibu tenang ya disana'

Aku menitikkan air mata di depan pusara ibu dari Bima, dan memberikan pelukan hangat kepada Bima. 'Bima, kakak yakin. Kamu pasti bisa. Kamu, Ariska, dan kakak, sama-sama sudah ditinggalkan ibu kita. Tapi kamu jangan patah semangat ya. Kejar terus mimpi kamu, sampai kamu bisa menjadi dokter' kata ku terisak tangis. Bima hanya menunduk dan perlahan berjalan meninggalkan makam ibunya.

Sebelum sampai depan pintu rumahnya, Bima mengucapkan terima kasih kepada ku dan Ariska karena sudah mengantarkannya pulang. 'Kak Duma. Terima kasih, ya. Sudah mengantarkan aku pulang. Sampai disini aja, kak. Aku takut nenek aku terganggu dengan orang asing' katanya dengan penuh kebahagian karena sudah mendapatkan laporan hasil belajarnya. 'Iya, sama-sama, Bima. Lebih semangat lagi ya belajarnya' kata ku sambil menuntun Ariska pulang ke rumah. 'Da da, Bima' Kata Ariska dari kejauhan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Aku bergegas menuju restoran dan kembali lagi menjadi seorang pramuniaga. Aku lebih bersemangat lagi. Karena harapan ku satu-satunya adalah pendidikan adik ku.

Setiap jenjang yang Ariska lewati dengan menjadi juara kelas, aku selalu memberikannya hadiah. Hingga akhirnya walau aku tidak memberikan hadiah lagi, dia selalu juara kelas. Aku bersyukur karena Ariska dapat mengerti apa yang aku inginkan dan Ariska juga memiliki semangat yang tinggi untuk menjadi seorang pebisnis.

Ketika Ariska baru merintis karir di bidang usaha, ayah ku mulai sakit parah hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Pada saat itu aku bingung bagaimana harus mengurusi biaya administrasi rumah sakit, dan pihak rumah sakit pun menyarankan agar ayah ku segera dioperasi, karena penyakitnya sudah sangat kronis. Tanpa berpikir panjang dan mencari uang darimana, aku setujui saja meskipun rumah yang harus menjadi taruhannya. Suami ku hanya seorang karyawan di perusahaan swasta yang gajinya sangat kurang memadai.

Keesokan harinya, ayah ku menjalani operasi. Aku, suami ku, dan adik ku menunggu di depan ruang operasi dan berdoa agar lancar operasinya. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya operasi pengangkatan tumor paru-paru, selesai. Aku langsung melihat keadaan ayah ku di dalam ruang operasi. Aku bersyukur ayah ku masih bisa diselamatkan.

Kemudian, aku keluar sejenak untuk mengurus administrasi. Betapa kagetnya aku, semua biaya operasi sudah dilunasi oleh orang yang namanya dirahasiakan oleh pihak rumah sakit. Setelah aku balik badan, aku dikejutkan oleh dokter yang telah mengoperasi ayah ku. 'Kak Duma, apakah masih ingat aku?' Sang Dokter itu membuka maskernya.
'Kamu, kan dokter yang tadi mengoperasi ayah ku. Memang kamu siapa?' Tanya ku heran.
'Kakak, aku ini Bima, yang waktu itu kak Duma mengambilkan rapor ku ketika nenek aku sudah lumpuh. Sekarang aku jadi dokter, kak. Kakak ingat, kan?' Tak disangka, dokter yang mengoperasi ayah ku adalah Bima. Anak kecil yang berjanji di depan pusara ibunya untuk menjadi dokter.
'Bima?' Aku langsung memeluk dirinya dengan erat. 'Terima kasih ya, Bima' aku menangis haru dipelukannya. 'Lalu, apakah kamu juga yang membiayai perawatan dan operasi ayah ku?' Tanya ku.
'Iya, kak. Anggap saja itu balas budi aku terhadap kakak yang sudah mau mengambilkan rapor aku dan mendoakan aku untuk menjadi dokter' katanya dengan tatapan yang penuh dengan rasa terima kasih.

'Bima, kakak sangat berterima kasih kepada mu. Aku ga tau harus membalas budi kamu dengan apa' mata ku terus berderai air mata kebahagiaan.
'Sudah lah, kak. Yang penting kan ayah kak Duma dan Ariska sudah baikan' katanya sambil memegang pundak ku.

Satu minggu kemudian, ayah ku diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Ariska kembali melanjutkan bisnis kafenya. Sekarang Ariska memiliki sepuluh cabang kafe di Jakarta. Bima yang awalnya biasa saja terhadap Ariska, kini mulai menyukainya. Hingga akhirnya mereka menikah dengan bahagia karena ayah ku masih bisa menghirup udara segar sampai saat ini.

Sekuat apapun batu yang kita pikul, jika harapan kita sudah sampai pada tempat batu yang kita ingin pindahkan. Tidak mustahil, kita akan memindahkan batu itu. Seperti halnya menjalani kehidupan. Meskipun kita sudah ditinggal orang tua kita, jika kita menginginkan suatu hal dengan penuh harapan, kita pasti bisa untuk menggapai hal tersebut.

Friday, July 24, 2015

PRIA YANG GEMULAI (GEMUK DAN LUNGLAI)


Hari sabtu adalah hari yang ditunggu oleh kebanyakan anak-anak SMA. Termasuk gue, hari sabtu adalah hari yang gue tunggu-tunggu dibanding hari-hari lainnya. Mengapa hari sabtu? Karena, hari sabtu adalah hari ekstrakurikuler sekolah yang dilanjutkan dengan hang out bareng. Sabtu itu, gue berencana untuk nonton bareng anak-anak yang lain di Mall Kelapa Gading. Setelah ekskul selesai, kita pulang ke rumah masing-masing dan janjian di salah satu rumah kawan gue. “Jam 2 yah, di rumah Tya” teriak Vani sambil memutar tuas gas motornya.

“Iya, hati-hati lo, Van” seru kita sambil melambaikan tangan.

Diantara kawan-kawan gue, gue akui Vani ini orangnya supel banget, dan dia juga memiliki hubungan spesial yang terawet. Selain Vani, ada juga kawan-kawan gue yang ikut, Dimas, Tya, Santi, Pras, dan Imam.
Gue pulang dengan sepeda gue, alasan mengapa gue belum boleh naik motor, katanya sih gue belum bisa naklukin hati perempuan, alasan yang sangat tidak etis. Sampai rumah, gue ngerayu nyokap supaya gue diijinin jalan sama anak-anak. Cara ngerayunya adalah dengan memijat badannya dan memuji-muji hidungnya. Hidung nyokap gue itu imut, jadi enak kalo buat bahan cengan. “Mak, itu waktu pembagian hidung, mama barisan yang paling belakang ya?” kata gue sambil mijitin pundak nyokap.
“Ah, pesek-pesek gini juga bapakmu naksir kan?” nyokap gue sewot.
“Tapi mama nih orangnya irit ya?” Tanya gue lagi.
“Irit kenapa?”
“Iya nafasnya ngirit” kata gue.
“Ah sialan lu”

Nyokap gue sebenernya ga suka dibercandain bawa-bawa fisik apalagi hidungnya. Tapi disamping itu nyokap gue punya kutipan favorit yang pernah dikatakan Rina Nose: Buat apa cari yang mancung, kalo yang pesek aja menarik. Kutipan yang sangat membanggakan diri sendiri.
Setelah selesai mijitin, gue mandi dan dandan sebelum berangkat ke rumah tya. “Ma, berangkat dulu ya” kata gue sambil salim ke nyokap dan bokap gue.
“Udah pake parfum belum?” Tanya nyokap.
“Udahlah ga usah”
“Tunggu dulu” gue nurutin nyokap gue, dan ketika dia kembali, bukan parfum cowok yang dia bawa. Melainkan parfum BVLGARI yang biasanya dipake emak-emak untuk arisan.
“Apa sih ini, BVLGARI udah kaya emak-emak aja” gue langsung pergi bawa motor bokap yang sudah memberi otoritasnya.
Gue naik motor ke rumah Tya dengan seorang diri, karena gue seorang jomblo. Sampai di rumah Tya, gue disambut kawan-kawan gue yang udah menunggu selama setengah jam.
“Lama banget sih lu!” kata Vani marah.
“Sorry ya, tadi di rumah ada ibu-ibu gemuk yang minta dipijitin sama gue, terus ibu-ibu itu satu rumah sama bokap sama gue juga”
“Itu kan emak lo, hahaha” kata Dimas sambil tertawa.
“Iya”

Ga berlama-lama di rumah Tya, kita pun berangkat. Gue lihat Dimas boncengan sama Tya, dan itu ngebuat gue tertawa di sepanjang jalan menuju Mall. Melihat mereka boncengan itu seperti dua minion lagi naik motor.  Badan mereka gemuk di atas sepeda motor. Mungkin kalo peredam kejutnya punya mulut, dia pasti langsung teriak “Tuhan, mengapa beban yang kau berikan melebihi kemampuanku?” Malang sekali dia.
Sepanjang jalan batin gue terus tertawa, apalagi ketika ada polisi tidur yang dilintasi mereka. Perasaan gue bercampuraduk antara takut kerangka motornya patah dan bahagia melihat dua mahluk raksasa naik motor.

Keberuntungan berpihak kepada kami, motor yang mereka tumpangi tidak mengalami luka ringan atau luka parah, hanya bannya yang sedikit kempes karena menahan bobot sekitar 160 kilogram. “Mungkin kalo ban punya mulut, dia bakal teriak kali ya” kata Santi.
“Sialan lu san” kata Dimas sambil mengibaskan rambutnya seakan-akan memiliki rambut panjang.

Setelah itu kita langsung naik ke lantai dua dan membeli tiket bioskop. Kali ini kita nonton film Transendence, dimana pemeran utamanya dapat hidup dua kali seperti kucing. Ketika gue menonton film, badan gue merasakan ada hentakan dari kaki orang yang duduk di atas gue. Dengan refleks, gue memutarkan badan dan betapa terkejutnya gue ketika melihat dua orang yang sedang berpagutan bibir. Niat ingin marahpun gue urungkan. Gue fokus lagi menonton film itu.

Tulisan EXIT berwarna merah akhirnya menyala dan wanita cantik memakai dress hitam sambil merapatkan kedua telapak tangannya tanda film akan selesai. Film pun selesai dengan diakhiri kedamaian umat manusia dari bencana teknologi. Lalu Tya dan Santi mengajak kita ke toko buku Gramedia, kita mengiyakan ajakan mereka.
“Dik, nanti gue tunjukin ke lu deh buku punya gue yang judulnya KING” kata Dimas.
“Oh yang pernah diangkat jadi film itu kan?”
“Iya dik. Gue suka banget sama olahraga bulutangkis. Apalagi Ma Jin” kata Dimas dengan ekspresi yang seperti memasarkan suatu barang.
“Ma Jin bukannya pemain ganda puteri?” kata gue dengan heran mengapa dia mengidolakan seorang olahragawati dari negeri tirai bambu itu.
“Iya, soalnya nettingnya tipis banget. Gue pengen banget kayak dia”
“Lu kan cowok, ngapain mau niruin permainan cewek?” keheranan gue menjadi bercabang.
“Iya, gue suka aja” kata Dimas.

Memang kawan gue yang satu ini agak gemulai, bahkan lebih gemulai dia daripada wanita pada umumnya. Tapi dia seru kalo diajak ngobrol, gue ga pernah bosen kalo ngobrol sama dia. Bukan berarti gue ikutan cucok juga. Hanya dia kalo sedang berbicara, selalu ekspresif. Obrolan yang biasa kita omongin adalah bulutangkis. Ga ada berhentinya kalo dia udah ngomongin bulutangkis. Sejak itu dia belum tau kalo gue adalah atlet bulutangkis.
“Dik, gue padahal main sama bapak-bapak di deket rumah gue, kok netting gue belum bagus juga yah, udah gitu gue cepet capek lagi” keluh Dimas.
“Ya elu kurang latihan fisik kali”
“Emang latihan fisik apa aja?” tanyanya.
“Lari marathon, lari sprint sama skiping”
“Ya ampun, berat banget ya” kata Dimas menunjukkan keputusasaannya.

Hingga suatu hari ada pertandingan bulutangkis antar sekolah se-Kota Madya Jakarta Utara. Sekolah gue memberi tugas kepada Dimas dan gue. Pada saat itu Dimas baru tau, kalo gue adalah pemain bulutangkis. “Lho, kok lu juga ikut dik?” Dimas kaget ketika melihat gue ikut juga dalam pertandingan.
“Ga tau, sekolah yang nyuruh gue untuk ikut. Gue mah ikut-ikutan aja ta, cuma bisa main doang, ga sejago lu kok” kata gue.
“Ah lu bisa aja, dik”

Permainan demi permainan terus ditunjukkan semua peserta dengan maksimal. Dimas yang sangat berambisi untuk memenangkan kejuaraan itu, harus mengakui kemenangan lawannya. Sementara gue, hanya duduk manis karena lawan gue tidak datang dikarenakan salah satu dari orang tuanya meninggal dunia.
“Dik, gue kalah. Sorry ya belum bisa ngasih yang terbaik buat sekolah” kata Dimas dengan lesu.
“Iya udah ga apa-apa kok. Latihan yang lebih rajin lagi” kata gue memberi saran.
“Semoga lu menang ya” Dimas mendoakan gue.
“Insya Allah”

Dimas istirahat di tribun dan masih tidak percaya bahwa dirinya dikalahkan dengan mudah. Lalu gue mendekati dia “Udah lah, ga usah dipikirin lagi, masih banyak kok pertandingan yang lain setelah ini, yang penting kan lu mau berusaha” kata gue.
“Iya dik”

Tiba giliran gue untuk bertanding. Babak kedua gue menang, hingga akhirnya gue masuk final melawan juara bertahan. Dimas belum mengetahui gue masuk final karena dia pulang duluan. Mungkin dia frustasi karena ambisinya untuk menang, gagal di babak pertama.

Keesokan harinya gue mendapat dispensasi untuk memperebutkan juara satu. Rencananya sih gue ga mau si Dimas tau kalo gue masuk final, tapi rencana gue gagal karena Dimas datangnya hampir telat dan melihat gue menenteng tas raket. “Lu masuk final dik?” Tanyanya.
“I…iya”
“Serius lu?”
Gue cuma bisa mengangguk karena ketahuan Dimas. “Kok lu ga bilang-bilang?” tanyanya lagi.
“Gue bukannya ga mau ngasih tau. Cuma gue ga mau lu patah semangat aja”
Dimas langsung pergi ninggalin gue dan masuk ke kelasnya. Gue pun berangkat menuju tempat pertandingan. Ketika partai final, gue ga menyangka bahwa lawan yang gue hadapi kurang fit. Alhasil gue menang mudah 21-7 dan 21- 10. Permainan selesai dan gue yang mewakili Jakarta Utara untuk menghadapi kejuaraan selanjutnya se-DKI Jakarta.

Kepulangan gue disambut biasa aja oleh guru-guru. Entah mungkin karena sekolah gue udah biasa dapat piala, atau mereka menganggap kompetisi adalah hal yang biasa. Tropi yang gue bawa ke sekolah pun, langsung dimasukkan ke lemari piala bersama piala-piala yang lain. Tapi bukan penghormatan yang gue cari, hanya permainan yang bagus yang ingin gue tunjukkan ke orang tua gue.

Setelah bertanding, gue masuk kelas lagi. Lalu kawan sebangku gue, Lestyo bertanya “Kok lu ga balik aja? Rajin banget lu”.
“Gue bukannya rajin, tapi males pulang aja. Lu tau kan gue anak tunggal”
Dua jam berlalu setelah kepulangan gue dari pertandingan, bel tanda pulang berbunyi. Lalu gue bergegas untuk keluar kelas dan menuruni tangga. Dari kejauhan, Dimas ngejar gue. “Hei Dik”
“Apa, Mas?” gue agak shock ketika seonggok badan yang berbobot lebih dari 95 kilogram berlari kencang di lantai tiga.
“Lu tadi juara berapa? Huh… huh.. huh” Tanya Dimas dengan nafas yang baru dikejar kamtib taman lawang.
“Juara, satu” gue agak takut karena paginya dia ngambek ke gue.
“Wih keren banget. Lolos seleksi dong?” ternyata dugaan gue salah, Dimas wajahnya sumringah.
“I… iya”
“Dik, kenapa yah, gue kok ga jago-jago mainnya?” kata Dimas dengan wajah Pou yang belum dikasih makan.
“Mas, lo tuh sebenernya udah bagus. Niat lu udah kuat. Cuma lo kurang satu aja”
“Apa dik?”
“Lo kurang gerak”
“Maksudnya?” Dimas masih belum ngerti.
“Lo terlalu banyak nanya ke gue tentang bagaimana supaya permainan lo itu jadi bagus. Tapi lo sendiri ga pernah mau mencoba apa yang udah gue kasih tau. Maaf ya, gue bukan bermaksud menggurui lo nih” kata gue sambil memegang pundak Dimas.
“Oh gitu yah” matanya menatap gue dengan nanar.
 Lalu kedua tangannya memegang tangan gue. Dan bilang “Makasih ya, Dik” “I… iya. Mas, bisa lepasin ga?” gue meminta dia untuk melepaskan tangannya. Mungkin itu adalah bagian terjijik dari tulisan gue kali ini. Lalu gue pulang dengan sepeda gue.

Kalo orang lain bertanya mengapa seorang atlet jago dalam bidangnya dan meraih juara, jawabannya adalah banyak tetes keringat yang bercucuran dari tubuhnya dan waktu yang terkuras untuk latihan yang keras.

Tuesday, July 7, 2015

Polosnya Gue

Hal yang terbaik dalam hidup ini adalah selalu berpikiran positif kepada suatu hal. Ya, itulah yang gue pegang sampai saat ini. Tanpa ada curiga sedikitpun apa yang dikatakan orang lain. Dengan kata lain, gue adalah orang yang sangat polos.
Gue ingat ketika ada seorang gadis yang amat cantik dan juga sangat pintar membolak-balikan hati gue. Pada saat itu gue duduk di bangku SMA kelas 12. Berawal dari gue menjelaskan tipe handphone Android berikut OSnya kepada teman sebangkunya, layaknya seperti seorang 'sales promotion boy'.
"Ya, jadi kalo yang lu punya itu Ice Cream Sandwich. Nanti gue keluar dulu yah, gue kasih tau yang Jelly Bean" jelas gue.
"Eh, jangan-jangan" kata Mona.

Tanpa menggubris kata Mona, gue langsung pergi ke kelas sebelah dan meminjam ponsel Dhana.
Gue memang suka yang namanya menjelaskan apa yang gue tau kepada teman-teman gue, termasuk berpromosi tanpa komisi seperti yang gue lakukan kali ini.
"Nah, ini yang OSnya Jelly Bean" gue menunjuk ponsel Dhana yang gue pinjem secara paksa.
"Terus, bedanya apa?" Gadis yang berada di samping Mona bertanya.
"Kalo Ice Cream Sandwich ini udah sekitar satu tahun yang lalu diluncurkan. Tapi kalo yang Jelly Bean ini, masih baru banget. Terus juga Jelly Bean lebih cepat responnya. Tapi tergantung Prosesor sama RAM juga sih" cerocos gue.
"RAM itu apa?" Tanya dia lagi.
"RAM itu Random Access Memory, yang gunanya untuk memanage dan mempercepat pemrosesan data pada Handphone, jadi kalo semakin besar RAM, semakin cepat juga proses datanya" jelas gue dengan gaya mas-mas yang promosi di Shop Chanel.
"Oh, gitu ya" gadis itu sambil mengangguk.

Selang beberapa jam dari promosi tanpa arah tadi, akhirnya wali kelas di kelas yang baru, datang. Namanya Pak Koestiyono. Orangnya tinggi, selalu memakai peci dan memiliki dua tanda hitam di dahinya yang menandakan orang tersebut rajin sholat. Wali kelas baru gue ini udah gue kenal. Sebelumnya, beliau mengajar gue di kelas 11 pelajaran matematika. Disamping itu, beliau juga telah mengubah paradigma siswa-siswinya terhadap ilmu matematika yang sebelumnya dianggap membuat stres, menjadi pelajaran yang sangat diminati dan ditunggu-tunggu pelajarannya.

Ditengah perbincangan di awal pertemuan, Pak Koes mengabsen nama-nama yang tercantum di absen sekolah. Dan di saat itulah gue mengenal gadis yang banyak bertanya tadi. Namanya adalah Vio. Entah hal apa yang membuat gue semakin penasaran dengan gadis cantik itu. Hingga akhirnya, dia meminjam buku gue.
"Dik, tadi apa aja yang perlu dibawa, boleh gue lihat catatan lo?"
"Oh iya, ini" Dengan mata yang seperti menatap pemandangan yang indah dan menyejukan hati.
***

Pulang sekolah, gue langsung pulang tanpa memikirkan buku yang dipinjam Vio. Ketika sampai di rumah gue kebingungan mencari buku itu seperti mencari jarum di dalam jerami. Dan ternyata tidak ada. Pikiran gue udah pasrah. Tiba-tiba ponsel gue berdering dan melihat ada sms masuk
"Dik, ini gue Vio. Maaf ya tadi gue lupa ngebalikin".
"Oh, iya, iya ga apa-apa kok. Tapi lo bisa smsin apa aja yang perlu dibawa untuk jam pelajaran matematika?' Balas gue.
'Buku kotak-kotak, penggaris, pensil, sama buku rumus dari kelas 10 s/d kelas 11" jawabnya.
"Oke makasih ya, Vio"
Pikiran terus mengkhayalkan dirinya. Nomor hp udah dapet, tinggal bangun komunikasinya nih.
***
Keesokan harinya seperti biasa, kita cuma berkenalan dengan guru-guru baru kita sebelum masuk ke pelajaran inti. Sebenernya sih, momen ini ga penting banget. Karena kita semua udah kenal dengan semua guru yang akan mengajar kita. Wajah dan gaya mengajarnya pun ga asing lagi. Ada juga beberapa guru yang langsung mengajar pelajaran inti, seperti bu Rahayu, guru ekonomi yang terkenal dengan ketegasannya.
Pernah suatu ketika, bu Rahayu sedang mengajar tentang manajemen pada top level, bu Rahayu berkata 'Nah, jika saya berada pada level manajemen yang tinggi dan tanpa mengatur langsung, saya disebut sebagai bos' Lalu suara samar-samar ditengah kebisingan diskusi, terdengar "Iya bu, BOS GILA" mungkin beberapa orang tidak mendengar itu. Tapi bu Rahayu langsung meninggikan suaranya, "HEI, SIAPA YANG BILANG BOS GILA TADI?" Semuanya pada diam seperti melihat garangnya seorang militer yang sedang ingin menghukum prajuritnya. Dan ketika gue ingin pulang, dia mengajak gue untuk ke mejanya dan menginterogasi gue. Dengan tatapan mata yang tajam dia mulai bertanya ke gue "Dik, tadi kamu tau ga, siapa yang ngatain ibu 'BOS GILA' tadi?"
Seketika itu kaki gue langsung gemetar dan jantung gue seperti mau copot, paru-paru gue hampir basah, sorry lebay.
Lalu gue jawab setenang mungkin, "Maaf ya, bu. Saya memang mendengar kata 'BOS GILA' tadi. Cuma saya benar-benar ga tau, siapa yang bilang. Bukan saya menyembunyikan hal itu dari ibu"
"Oh, begitu. Baik lah. Kalo ketahuan siapa yang bilang seperti itu, ibu akan panggil orang tuanya"

Lalu gue pulang dengan pikiran yang tertekan oleh verbal yang dilakukan oleh guru ekonomi gue tadi.
Meskipun, beliau 'Killer' dalam mengajar. Killer yang gue maksud, bukan pembunuh berantai seperti Rian Jombang. Tapi, tegas dan memiliki peraturan yang harus dipatuhi oleh semua muridnya. Beliau juga punya sisi Humoris dan Humanis. Jadi persepsi guru 'Killer' bukan berarti setiap mengajar selalu mengalami temperatur yang tinggi, melainkan ketegasan dalam mengajar.
Oke, kita lanjut ke Vio. Ya, setelah bu Rahayu meninggalkan kelas, Vio menghampiri gue. Dan bilang 'Terima Kasih ya bukunya'.
'Iya sama-sama' kata gue dengan tatapan bahagia.

Setelah kejadian itu, Vio semakin bersikap manis ke gue, sms setiap menit layaknya orang yang lagi pacaran. Dan satu yang membuat gue yakin kalo dia itu suka sama gue adalah dia orang yang mengucapkan ulang tahun pada pukul 12 malam. Karena gue cowok yang pintar dalam pelajaran, namun aslinya bodoh. Gue terus meladeni sikap manisnya, tanpa mencari tahu apa tujuannya.
Lalu gue merasa ada yang berubah dari diri gue. Gue merasakan cemburu yang amat dalam ketika Vio meminta diajarkan matematika oleh Estu, teman sekelasnya waktu kelas sebelasnya. Gue berpikiran, gue ini jago matematika di kelas ini, tapi kenapa dia minta diajarkan oleh orang lain. Hati dan pikiran gue menjadi panas.
Tapi karena sikap manisnya dia ke gue, akhirnya gue luluh lagi dan seperti biasa lagi. Seakan tersihir oleh kata-katanya yang selalu membuat hati ini menjadi terbelenggu.
***

Dua bulan kita jalani 'PERSAHABATAN' tanpa arah ini dengan baik. Dari datang ke sekolah disambut dengan senyumnya yang membuat ngefly, ucapan manis yang membuat semangat, dan perpisahan ketika pulang seakan menjadi momen yang tidak diinginkan. Sampai akhirnya ketika pulang gue mengantarkan dia sampai pinggir jalan, dan gue bertanya "Vi, apa sih yang ngebuat lo mau deket dengan gue? Gue kan cuma cowok biasa"
"Lo itu legowo, bisa dipercaya, dan pinter" jawabnya lembut.
"Kenapa lo bisa ngomong kaya gitu?"
"Ya... Selama ini kan lo yang selalu ngajarin gue dengan sabar" jawabnya dengan halus.
"Dik, kalo gue udah percaya dengan seseorang, gue ga akan pernah lupain orang itu. Tapi, sekali aja dia mengkhianati gue, gue ga mau kenal dia lagi. Jadi tolong ya, lo jaga kepercayaan gue" tambahnya sambil memegang lengan gue.
Gue cuma bisa mengangguk. "Ya udah, dik. Gue pulang dulu ya" kata dia pamit.
"Iya, hati-hati ya, Vi" kata gue sambil melambaikan tangan. Gue juga balik lagi ke sekolah untuk mengambil sepeda gue dan pulang.
Menentukan antara untuk menembak dan tidak. Gue meminta saran kepada Yani dan Ayu, karena mereka adalah teman sekelas Vio waktu kelas 11, dan mereka juga sahabat gue dari kelas 10. Pendapat mereka sama. Sama-sama untuk melarang gue menyatakan perasaan gue. Alasannya juga sama, karena gue ga selevel dengan Vio. Gue cuma anak tukang nasi uduk dan Vio anak orang berada.

Gue berpikir selama beberapa hari. Cinta kan ga memandang harta dan derajat seseorang. Cinta itu memandang perasaan hati seseorang apakah cocok atau tidaknya, nyaman atau tidaknya seseorang dengan orang yang ia cintai.
Dalam masa berpikir itu, gue tetap menjalani kegiatan gue sebagai seorang atlet amatir waktu itu. Lari sore yang biasanya cuma 8 Kilometer, setelah mengenal dia, gue bisa menaklukan medan jalan yang berjarak 9 Kilometer menuju arah rumah dia. Ternyata Cinta itu dapat melampaui logika dan tidak dapat terpikirkan. Cinta mampu menguatkan seseorang yang lemah dan melemahkan orang yang kuat. Dan itu terjadi pada diri gue saat itu. Dari sebelumnya gue bisa berhenti 2 sampai 3 kali untuk istirahat. Ketika setelah mengenal Vio, gue lari 9 Kilometer tanpa istirahat. Love is Power.
Rasa cinta yang gue curahkan, semata-mata hanya untuk dia seorang. Bahkan ketika hujan menerjang di sore hari ketika gue lari marathon, gue lawan hujan itu demi mengantarkan soal kisi-kisi matematika yang akan menjadi pelajaran UTS keesokan harinya. 

Selain dia yang udah mengubah gue dari yang malas fisik, dia juga membuat gue menjadi suka menulis-nulis sesuatu yang sedang gue alami, alias buat diari. Dari diari itu, gue tulis semuanya tentang dia, awal bertemu dengan dia. Sampai sifat dia yang menyenangkan. Sebelumnya gue cuma memiliki hobi main bulutangkis, gue juga jadi hobi untuk menulis. Ya, wanita itu sangat mudah menaklukan hati dan pikiran gue.
Keesokan harinya, setelah UTS selesai, gue memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan gue.
"Vi, boleh ga, gue ngomong sesuatu ke lu" karena pada saat itu Vio masih sibuk dengan tasnya dia cuma jawab "Ya, apa?"
"Gini, Vi. Lu ngerti kan?" Kata gue gugup, dan mental gue masih cemen.
"Ngerti apa?" Dia bingung.
Di hati gue mengalami perang batin antara untuk mengungkapkan atau ga.
Kalo di film-film, di sisi kanan dan kiri gue terdapat malaikat yang saling berdebat.
Malaikat putih menyarankan 'Jangan dulu, dik. Waktunya kurang tepat'
Malaikat merah bilang 'Udah, ngapain lu nunggu lagi. Tembak aja, cemen banget lu'
Pikiran yang sangat rumit dan harus diputuskan pada saat itu juga. Mungkin bagi beberapa cowok, momen ini adalah momen yang sangat mudah untuk ditaklukan. Beda dengan gue yang bermental lemah dan belum bisa memikirkan apa hal yang akan terjadi setelah itu.
Lalu gue memutuskan untuk memberanikan diri mengungkapkan isi hati gue.
"Vi, gue, gue, gue cinta sama lo" yah... akhirnya plong juga.
"Hah? Lu beneran?" Vio sontak berhenti membereskan kertas-kertas yang ada di dalam tasnya.
"Iya, lu kalo mau nolak juga ga apa-apa kok. Kalo lu mau terima, mungkin gue adalah lelaki terbahagia yang pernah memilih lu" kata-kata yang sangat pesimis terlontar dari mulut gue.
"Hmm... Kasih gue waktu ya, sampai besok" matanya terus menatap gue.
"Iya, Vi. Lu mau pulang? Gue anter sampe depan yah?"
"Hmm... Ga usah deh. Gue dijemput bokap, kok" Vio akhirnya balik bareng bokapnya naik motor.
*****
Sesampai di rumah, bokap langsung ngajak gue untuk latihan bulutangkis ke daerah Menteng, Jakarta Timur. Entah apa yang membuat gue lebih baik dalam mengolah Shuttlecock hari itu, yang jelas gue ga biasanya sebagus hari itu. Cinta yang membuat gue manjadi lebih kuat seperti memakai dopping. Ternyata benar apa yang dikatakan Penguin Madagaskar: Cinta adalah zat kimia dalam otak yang membuat seseorang menjadi lebih bahagia. Dan kebahagiaan itu menjadi kekuatan.
Ketika gue istirahat dan menyeka keringat, Om Bagus menghampiri gue "Tumben, Pur. Kamu agak bagusan"
Entah mengapa panggilan Belpur yang mereka sukai terhadap gue. Oh iya, Belpur itu, kepanjangannya adalah Belalang Tempur. Yah, karena mungkin gue mainnya seperti orang tawuran yang siap tempur, dan warna coklat seperti kulit gue.

Hari yang gue tunggu, akhirnya tiba. Seperti biasa, gue selalu disambut hangat oleh Vio. Gue bersikap dingin ke dia, dan bahkan ga mau ada dialog sedikit pun. Supaya ketika dia menerima atau menolak gue, itu suasananya dapet.
Bel pulang sekolah, berbunyi. Seperti tidak ada apa-apa, gue langsung keluar kelas menuju tangga. Dari pintu kelas, Vio memanggil gue "Dik, tungguin!" Otak gue menghentikan langkah dan menunggu Vio. Vio menghampiri gue dan gue dibawa ke depan pintu ruang serbaguna, gue hanya bisa mengikuti dia. "Dik" Vio membuka perbincangan. "Iya, ada apa?"
"Gue mau menjawab yang kemarin" Tiba-tiba Malvin, teman sekaligus tetangganya Vio, datang dan membuyarkan suasana. Malvin mendorong dan menahan Vio yang hampir jatuh. Dan momen itu adalah momen yang terburuk buat gue. Tapi Vio tertawa-tawa seakan ga ada gue disitu.
"Sorry ya, Dik. Malvin memang rese orangnya"
"Iya, ga apa-apa" kata gue sambil memasang muka Poker face.
"Dik, lu mau gue jujur atau engga?" Mata kita bertemu di antara sinar yang menerangi koridor sekolah.
"Ya itu sih tergantung lu, mau mulai yang mana" kata gue.
"Maaf ya sebelumnya, gue belum bisa buka hati untuk siapapun. Karena bokap gue ngelarang gue untuk pacaran dengan siapapun" wajah sendunya membuat hati gue semakin jatuh hati meskipun hati ini jatuh ke lantai berkeping-keping bak rumah yang baru digusur. 
"Alasan klasik" hati gue berkata. Gue cuma bisa terdiam membisu walaupun tubuh ini gagal menjadi lukisan di hatinya.   
***

Hari-hari setelah peristiwa itu, awalnya memang tidak ada apa-apa. Namun, pikiran gue mulai kacau sendiri. Jadilah gue ga bicara sama sekali ke dia selama satu bulan. 

Selama satu bulan itu, gue selalu memposting hal-hal yang ga pantas ditiru, seperti mengejek, membuka aib, dan sebagainya. Kalo sekarang sih, gue nyesel mengapa gue lakukan itu. Andai itu ga terjadi, persahabatan gue sama dia, mungkin bisa bertahan sampai hari ini. 

Satu bulan tanpa bicara, akhirnya gue duluan yang minta maaf. Gue akui, gue yang salah. Karena gue termakan emosi sendiri. Tapi kawan-kawan gue selalu bilang Vio yang salah karena memberi harapan palsu ke gue meskipun gue ga merasakan harapan palsu itu. 

"Vi, maafin gue ya. Gue akui, gue yang salah kok" ya, tujuan lain dari minta maaf adalah mengurangi beban supaya lebih percaya diri lagi ketika akan menghadapi pertandingan.
"Ga, lu ga salah, kok. Gue yang salah udah PHP in lu" Lalu kita berjabat tangan tanda minta maaf udah selesai. 
***

Tiga bulan setelah gue baikan, entah mengapa hati masih ingin memilikinya walaupun peluangnya adalah mustahil. Gue memberanikan diri untuk ngajak pulang bareng dengan sepeda gue, tanpa diduga, dia mau. Dan orang-orang yang ada di sekitar gue, bingung dengan keadaan itu. Meskipun gue dirundung atau dihujat, gue terima itu sebagai hukuman karena udah mengumbar dan mengejek Vio. 

Gue bahagia ketika Tuhan mempertemukan gue dengan Vio di akhir masa-masa gue memakai seragam putih abu-abu. Menurut gue itu adalah salah satu anugerah yang indah dari sekian banyak anugerah Tuhan yang udah diberikan kepada gue. Gue banyak belajar dari dirinya. Kalo Vio membaca tulisan gue ini, gue minta maaf yang sebesar-besarnya karena telah membuat hidup lu menjadi risih atau kesal sama gue. Sekali lagi, Terima Kasih Mentari Dari Jogjakarta.

Saturday, November 22, 2014

Pra Kerja VS Pasca Kerja


Kerja, kerja, dan kerja. Itulah impian gua dari awal SMA. Entah apa yang ada di benak gua, gua pengen banget yang namanya kerja dan menikmati hasil dari keringet gua sendiri (menjijikan banget ya gua?). Tiap kali gua melihat orang-orang yang udah kerja, bawaannya iri melulu. Bisa makan dimanapun yang ia sukai dan punya banyak relasi yang buat tiap harinya memiliki warna. Disamping itu juga, gua waktu itu udah kepikiran tentang ‘Mandiri’ (mungkin pengen bikin rekening kali), bukan itu maksudnya, tapi Mandiri dalam segala hal. Contohnya, gua ingin pacaran dengan uang hasil kerja gua sendiri dang a merepotkan orang tua pastinya. Ketika waktu gua di SMA, itu adalah kebanggaan tersendiri.

Sebelum gua kerja, pola pikir dan pola hidup gua beda banget dengan sekarang. Masa-masa SMA begitu sangat menyenangkan dan penuh kesan. Selama SMA pun gua selalu bersyukur apa yang udah Allah kasih untuk gua. Dan Allah pun memberikan yang terbaik buat gua. Mengukir prestasi di SMA membuat gua semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Disamping cerita yang menyenangkan, ada juga cerita duka yang gua alami di SMA. Di kelas 10 (1 SMA) hape gua pernah disita sama guru matematika, padahal hape itu cuma gua liat jamnya doang. Gua juga pernah dimusuhin sama satu kelas gara-gara udah dua kali ga menyampaikan amanah dari guru geografi dan guru kimia. Tapi ga lama, udah baikan lagi. Next kelas 11, gua menjadi bahan ejekan dan celaan terhina di kelas gua, tapi itu membuat semakin kuat menghadapi semua celaan yang orang lain kasih terhadap gua.  Di kelas 12, gua pernah diPHPin (itu sih menurut opini kawan-kawan gua, tapi gua ga merasakan itu, soalnya yang gua terima adalah sebuah penolakan dari seorang cewek yang gua suka pada saat itu. Hal itu juga yang membuat gua semakin terlatih patah hati.

  • Pola hidup pra kerja sepanjang weekdays. 
Dari bangun tidur, gua sholat shubuh terlebih dahulu sebelum mandi (sholat gua diterima ga ya sama Allah, jorok banget sumpah). Setelah sholat, gua nyuci panci yang sebelumnya dipake buat masak nasi uduk (karena orang tua gua pedagang nasi uduk). Setelah nyuci panci, gua sarapan pagi sambil dengerin gosip-gosip artis yang lagi panas-panasnya (udah jorok, jiwa gua udah kayak emak-emak komplek yang tiap pagi mantengin gosip-gosip artis). Selesai sarapan, baru gua mandi, pake baju, dan berangkat ke sekolah (alasan mengapa gua mandi setelah sarapan adalah menghangatkan tubuh dulu sebelum kena air pagi yang dingin karena hawa malam). Sepulang sekolah, di rumah gua udah disambut bokap buat fisik (senin, rabu, dan jum'at) atau disambut untuk pergi latihan bulutangkis di ujung menteng (selasa dan kamis). Seteleh lelah di sekolah menghadapi guru-guru yang killer, gua melanjutkannya dengan olahraga keras yang harus gua jalani setiap hari (tapi gua tetep bersyukur karena waktu itu perut gua ga sebuncit sekarang). Setelah pulang dari latihan, gua mandi dan bantuin bokap untuk bungkusin kerupuk untuk pelanggan-pelanggan di keesokan harinya, makan malam, daaannnn tidur
  • Pola hidup pra kerja sepanjang weekend. 
Dari awal lagi ya, bangun tidur, tidur llagi, bangun untuk makan siang, tidur lagi, bangun lagi untuk mandi dan makan malam, and then turu maning. Selesai.
 
Udah tau kan pola hidup gua sebelum kerja kayak apa? Yaps.... Berantakan banget kayak orangnya.
Next, kita lanjut pola hidup gua sesudah kerja, tapi kayaknya lo ga senneng deh baca kelanjutannya, nanti aje ye, kalo gua udah dapet pacar baru, baru gua tulis lagi di blog biar ada goresan-goresan romantis nantinya. See you, guys... Bye... Mmmmuuuuuaaacchhh
 
 

KEBAHAGIAAN SEJATI



Lama juga ya, gua ga menggoreskan tinta-tinta kecil di Blog ini. Maklumin aja ya, sekarang masa-masa peralihan dari pelajar senior menjadi karyawan junior. Gua bersyukur banget kepada Allah berkat hidayah dan karuniaNya gua diterima kerja di Koperasi Pegawai Maritim yang bertugas di Pelabuhan Indonesia 2. Pasca perpisahan SMA, gua mencari ilmu lagi di tempat lain, yaitu di Pusat Pelatihan Kerja Daerah Jakarta Utara. Instansi tersebut dibawah naungan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dan fungsinya adalah mengembangkan minat masyarakat yang belum mendapatkan pekerjaan. Oke deh, ga perlu lama lagi untuk baca tulisan gua yang bertemakan ‘Kebahagiaan’. Check it out!

Bahagia, ya, inilah yang dicari semua orang. Bahagia adalah rasa yang dimiliki setiap manusia ketika mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Benar kan? Bahagia, memiliki banyak ragam dan macamnya, Berikut adalah dua macam Bahagia yang saya ketahui:

1.     Bahagia di atas penderitaan orang lain.
Bahagia banyak juga yang disalahgunakan demi kepentingan pribadi tanpa menghiraukan kepentingan orang lain. Pernah dengar kan kata-kata ‘Bahagia di atas penderitaan orang lain’ yaps, ini bahagia yang negatif banget dan sifatnya merusak persatuan antar umat manusia. Mengapa merusak? Karena ketika seseorang yang terlukai lahir ataupun batinnya, tidak menutup kemungkinan akan balas dendam kepada orang yang sudah melukainya. Dendam itu adalah awal kehancuran dari segala kehancuran. Jika ada seseorang yang dendam, ia akan melakukan apapun demi terbalaskan lukanya terhadap orang yang melakuinya. Kalo udah kaya gitu, kalian tau dong ujung dari ceritanya bagaimana. Perang.Lho kok sampai-sampai ke peristiwa Perang? Ini dia alur setelah ‘Bahagia di atas penderitaan orang lain’.
Text Box: Bahagia di atas penderitaan orang lain → Dendam → Saling tidak mengakui kesalahan → Saling tidak percaya → Terjadilah Perang
Alasan gua mengapa memulai dengan yang negatif, supaya kalian terhindar dari sifat yang dapat merusak ukhuwah maupun akidah ini. Jadi, kalo mau bahagia, ya jangan sampai merugikan orang lain, make your happiness more helpful, guys.

2.     Bahagia dunia dan akhirat.

Bahagia yang selalu mengundang orang lain dengan berlandaskan agama,ya, biasa disebut dengan bahagia dunia dan akhirat. Kayak lagunya Rita Sugiarto ya, Pacar dunia akhirat. Yaps, untuk yang ini, gua terinspirasi dari lagu beliau, karena gua ngefans banget sama dia. Balik lagi ke bahagia dnia dan akhirat, inilah kebahagiaan yang seutuhnya atau kebahagiaan sejati,. Lho kok bisa? Bisa dan sudah jelas, siapa sih yang ga mau bahagia di dunia maupun di akhirat?  Pasti semuanya mau.
Bahagia yang satu ini penuh perjuangan dan doa untuk mencapainya. Hanya orang-orang yang niatnya kuat untuk mencapi ini. Berani menajalani hidup dan berlandaskan agama di setiap kegiataannya. Jika mendapatkan ujian, ia akan berlapang dada dan mensyukuri ujian yang datang itu seperti halnya rezeki yang ia terima. Seperti menerapkan ilmu tekanan pada subjek fisika, tekanan akan menjadi semakin rendah apabila penopang dari beban itu semakin luas.
Hidup akan menjadi jauh lebih berharga apabila kita menebarkan kebahagiaan pada orang lain. Dekati hal positif dan pelajari hal-hal negatifnya agar kita tak terjerumus ke dalamnya.
Oke, guys. Jadi lu makin ngerti dong apa artinya bahagia? Bahagia ga Cuma datang dari Cinta, Harta, atapun Tahta. Tapi kebahagiaan itu kita dapat membentuknya sendiri. Bahkan lo bisa mengajak orang lain untuk merasakan kebahagiaan yang sama dengan kebahagiaan lo. But, you must remember, with Positive way!