Mentari mulai menampakan diri. Hari itu adalah hari dimana laporan hasil belajar adik ku dibagikan. Tidak seperti biasanya, aku meminta izin kepada atasan ku agar dapat datang ke sekolah dan mengambil laporan hasil belajar adik ku.
Oh, iya. Aku Duma. Gadis yang memiliki harapan untuk dapat menyekolahkan adik ku ke jenjang yang lebih tinggi daripada aku, meskipun aku hanya lulusan SMA. Aku menggantikan posisi ibu ku. Ya, ibu ku sudah meninggal sejak aku berumur 18 tahun. Namun, aku bertekad dapat mewujudkan apa yang aku harapkan.
Aku dan adik ku berangkat sekitar pukul tujuh pagi. Berhubung sekolah adik ku tidak jauh, kami hanya berjalan kaki.
'Kak, kakak baik deh. Udah mau ngambilin rapor aku' kata adik ku sumringah.
'Iya, apa sih yang engga buat kamu' kata ku sambil mencubit pipi Ariska, adik ku.
Selama di perjalanan, aku melihat lalu lalang wali murid yang siap menghadap guru dari anaknya. Kaki ini pun terus melangkah hingga masuk ke kelas 2B. Di kelas itu masih sepi dan baru ada satu wali murid yang menunggu di meja paling depan.
Tidak lama kemudian, satu per satu para orang tua murid berdatangan masuk ke kelas yang aku masuki. Ada sekitar tiga puluh wali murid yang hadir di dalam kelas. Dan wali kelas yang kami tunggu, datang
Berdasarkan nomor urut absen yang sudah ditandatangani, para wali murid mengantri dengan tertib hingga nomor antriannya dipanggil oleh wali kelas.
'Ibu Duma!' Seru bu Ningsih, wali kelas adik ku.
'Iya, bu. Saya' aku pun maju ke hadapan meja guru.
'Maaf, bu. Saya kakaknya, jadi panggil saya Duma saja' kata ku sambil duduk di depan meja guru.
'Oh, iya. Maaf saya kira bibinya' kata bu Ningsih sambil tersenyum. Setelah itu bu Ningsih menjelaskan bagaimana sikap dan nilai Ariska kepada ku.
Ditengah penjelasan bu Ningsih, tiba-tiba ada seorang anak kecil yang berlari menuju meja guru dan dengan polosnya dia bilang 'Bu Ningsih, Orang tua aku sudah meninggal. Lalu bagaimana aku mengambil rapor? Aku tidak punya kakak seperti kakaknya Ariska yang bisa mengambilkan rapor aku'. Tanpa disadari, mata ku yang menatap dirinya, mulai berkaca-kaca.
'Kamu punya om atau tante, Bima?' Kata bu Ningsih.
'Om dan tante aku baru pulang seminggu yang lalu, bu guru. Aku sekarang tinggal sama nenek. Tapi nenek aku ga bisa jalan. Terus aku ngambil rapornya gimana?' Sebelum bu Ningsih menjawab, aku langsung menjawab pertanyaan Bima tadi 'Nanti, kakak ambilkan untuk kamu, ya. Bu apakah bisa saya ambilkan rapornya?'
'Hmm... ya boleh saja, jika tidak ada yang mewakilkan' jawab bu Ningsih
'Terima kasih, bu'
Setelah bu Ningsih mengizinkan aku untuk mewakili wali muridnya, Bima yang sebelumnya sedih nada bicaranya menjadi ceria. Aku mengantarkan Bima pulang terlebih dahulu. Selama di perjalanan, aku bingung. Mengapa dia mengajak aku ke arah pemakaman. 'Kak, kesini dulu ya, aku mau ngasih tau ibu aku. Kalo aku juara kelas, supaya ibu senang di sana' Bima menuntun aku ke dekat batu nisan ibunya dan seakan bercerita kepada ibunya 'Bu, lihat deh. Aku juara kelas, ibu pasti senang kan? Bu, aku janji, aku akan selalu berdoa untuk ibu, dan aku akan jadi dokter untuk menyembuhkan nenek. Semoga ibu tenang ya disana'
Aku menitikkan air mata di depan pusara ibu dari Bima, dan memberikan pelukan hangat kepada Bima. 'Bima, kakak yakin. Kamu pasti bisa. Kamu, Ariska, dan kakak, sama-sama sudah ditinggalkan ibu kita. Tapi kamu jangan patah semangat ya. Kejar terus mimpi kamu, sampai kamu bisa menjadi dokter' kata ku terisak tangis. Bima hanya menunduk dan perlahan berjalan meninggalkan makam ibunya.
Sebelum sampai depan pintu rumahnya, Bima mengucapkan terima kasih kepada ku dan Ariska karena sudah mengantarkannya pulang. 'Kak Duma. Terima kasih, ya. Sudah mengantarkan aku pulang. Sampai disini aja, kak. Aku takut nenek aku terganggu dengan orang asing' katanya dengan penuh kebahagian karena sudah mendapatkan laporan hasil belajarnya. 'Iya, sama-sama, Bima. Lebih semangat lagi ya belajarnya' kata ku sambil menuntun Ariska pulang ke rumah. 'Da da, Bima' Kata Ariska dari kejauhan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Aku bergegas menuju restoran dan kembali lagi menjadi seorang pramuniaga. Aku lebih bersemangat lagi. Karena harapan ku satu-satunya adalah pendidikan adik ku.
Setiap jenjang yang Ariska lewati dengan menjadi juara kelas, aku selalu memberikannya hadiah. Hingga akhirnya walau aku tidak memberikan hadiah lagi, dia selalu juara kelas. Aku bersyukur karena Ariska dapat mengerti apa yang aku inginkan dan Ariska juga memiliki semangat yang tinggi untuk menjadi seorang pebisnis.
Ketika Ariska baru merintis karir di bidang usaha, ayah ku mulai sakit parah hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Pada saat itu aku bingung bagaimana harus mengurusi biaya administrasi rumah sakit, dan pihak rumah sakit pun menyarankan agar ayah ku segera dioperasi, karena penyakitnya sudah sangat kronis. Tanpa berpikir panjang dan mencari uang darimana, aku setujui saja meskipun rumah yang harus menjadi taruhannya. Suami ku hanya seorang karyawan di perusahaan swasta yang gajinya sangat kurang memadai.
Keesokan harinya, ayah ku menjalani operasi. Aku, suami ku, dan adik ku menunggu di depan ruang operasi dan berdoa agar lancar operasinya. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya operasi pengangkatan tumor paru-paru, selesai. Aku langsung melihat keadaan ayah ku di dalam ruang operasi. Aku bersyukur ayah ku masih bisa diselamatkan.
Kemudian, aku keluar sejenak untuk mengurus administrasi. Betapa kagetnya aku, semua biaya operasi sudah dilunasi oleh orang yang namanya dirahasiakan oleh pihak rumah sakit. Setelah aku balik badan, aku dikejutkan oleh dokter yang telah mengoperasi ayah ku. 'Kak Duma, apakah masih ingat aku?' Sang Dokter itu membuka maskernya.
'Kamu, kan dokter yang tadi mengoperasi ayah ku. Memang kamu siapa?' Tanya ku heran.
'Kakak, aku ini Bima, yang waktu itu kak Duma mengambilkan rapor ku ketika nenek aku sudah lumpuh. Sekarang aku jadi dokter, kak. Kakak ingat, kan?' Tak disangka, dokter yang mengoperasi ayah ku adalah Bima. Anak kecil yang berjanji di depan pusara ibunya untuk menjadi dokter.
'Bima?' Aku langsung memeluk dirinya dengan erat. 'Terima kasih ya, Bima' aku menangis haru dipelukannya. 'Lalu, apakah kamu juga yang membiayai perawatan dan operasi ayah ku?' Tanya ku.
'Iya, kak. Anggap saja itu balas budi aku terhadap kakak yang sudah mau mengambilkan rapor aku dan mendoakan aku untuk menjadi dokter' katanya dengan tatapan yang penuh dengan rasa terima kasih.
'Bima, kakak sangat berterima kasih kepada mu. Aku ga tau harus membalas budi kamu dengan apa' mata ku terus berderai air mata kebahagiaan.
'Sudah lah, kak. Yang penting kan ayah kak Duma dan Ariska sudah baikan' katanya sambil memegang pundak ku.
Satu minggu kemudian, ayah ku diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Ariska kembali melanjutkan bisnis kafenya. Sekarang Ariska memiliki sepuluh cabang kafe di Jakarta. Bima yang awalnya biasa saja terhadap Ariska, kini mulai menyukainya. Hingga akhirnya mereka menikah dengan bahagia karena ayah ku masih bisa menghirup udara segar sampai saat ini.
Sekuat apapun batu yang kita pikul, jika harapan kita sudah sampai pada tempat batu yang kita ingin pindahkan. Tidak mustahil, kita akan memindahkan batu itu. Seperti halnya menjalani kehidupan. Meskipun kita sudah ditinggal orang tua kita, jika kita menginginkan suatu hal dengan penuh harapan, kita pasti bisa untuk menggapai hal tersebut.