Hari sabtu adalah hari yang ditunggu oleh kebanyakan anak-anak SMA. Termasuk gue, hari sabtu adalah hari yang gue tunggu-tunggu dibanding hari-hari lainnya. Mengapa hari sabtu? Karena, hari sabtu adalah hari ekstrakurikuler sekolah yang dilanjutkan dengan hang out bareng. Sabtu itu, gue berencana untuk nonton bareng anak-anak yang lain di Mall Kelapa Gading. Setelah ekskul selesai, kita pulang ke rumah masing-masing dan janjian di salah satu rumah kawan gue. “Jam 2 yah, di rumah Tya” teriak Vani sambil memutar tuas gas motornya.
“Iya, hati-hati lo,
Van” seru kita sambil melambaikan tangan.
Diantara kawan-kawan
gue, gue akui Vani ini orangnya supel banget, dan dia juga memiliki hubungan
spesial yang terawet. Selain Vani, ada juga kawan-kawan gue yang ikut, Dimas,
Tya, Santi, Pras, dan Imam.
Gue pulang dengan
sepeda gue, alasan mengapa gue belum boleh naik motor, katanya sih gue belum
bisa naklukin hati perempuan, alasan yang sangat tidak etis. Sampai rumah, gue
ngerayu nyokap supaya gue diijinin jalan sama anak-anak. Cara ngerayunya adalah
dengan memijat badannya dan memuji-muji hidungnya. Hidung nyokap gue itu imut,
jadi enak kalo buat bahan cengan. “Mak, itu waktu pembagian hidung, mama barisan
yang paling belakang ya?” kata gue sambil mijitin pundak nyokap.
“Ah, pesek-pesek gini
juga bapakmu naksir kan?” nyokap gue sewot.
“Tapi mama nih orangnya
irit ya?” Tanya gue lagi.
“Irit kenapa?”
“Iya nafasnya ngirit”
kata gue.
“Ah sialan lu”
Nyokap gue sebenernya
ga suka dibercandain bawa-bawa fisik apalagi hidungnya. Tapi disamping itu
nyokap gue punya kutipan favorit yang pernah dikatakan Rina Nose: Buat apa cari
yang mancung, kalo yang pesek aja menarik. Kutipan yang sangat membanggakan
diri sendiri.
Setelah selesai
mijitin, gue mandi dan dandan sebelum berangkat ke rumah tya. “Ma, berangkat
dulu ya” kata gue sambil salim ke nyokap dan bokap gue.
“Udah pake parfum
belum?” Tanya nyokap.
“Udahlah ga usah”
“Tunggu dulu” gue
nurutin nyokap gue, dan ketika dia kembali, bukan parfum cowok yang dia bawa.
Melainkan parfum BVLGARI yang biasanya dipake emak-emak untuk arisan.
“Apa sih ini, BVLGARI
udah kaya emak-emak aja” gue langsung pergi bawa motor bokap yang sudah memberi
otoritasnya.
Gue naik motor ke rumah
Tya dengan seorang diri, karena gue seorang jomblo. Sampai di rumah Tya, gue
disambut kawan-kawan gue yang udah menunggu selama setengah jam.
“Lama banget sih lu!”
kata Vani marah.
“Sorry ya, tadi di
rumah ada ibu-ibu gemuk yang minta dipijitin sama gue, terus ibu-ibu itu satu
rumah sama bokap sama gue juga”
“Itu kan emak lo,
hahaha” kata Dimas sambil tertawa.
“Iya”
Ga berlama-lama di
rumah Tya, kita pun berangkat. Gue lihat Dimas boncengan sama Tya, dan itu
ngebuat gue tertawa di sepanjang jalan menuju Mall. Melihat mereka boncengan
itu seperti dua minion lagi naik motor.
Badan mereka gemuk di atas sepeda motor. Mungkin kalo peredam kejutnya
punya mulut, dia pasti langsung teriak “Tuhan, mengapa beban yang kau berikan
melebihi kemampuanku?” Malang sekali dia.
Sepanjang jalan batin
gue terus tertawa, apalagi ketika ada polisi tidur yang dilintasi mereka.
Perasaan gue bercampuraduk antara takut kerangka motornya patah dan bahagia
melihat dua mahluk raksasa naik motor.
Keberuntungan berpihak
kepada kami, motor yang mereka tumpangi tidak mengalami luka ringan atau luka
parah, hanya bannya yang sedikit kempes karena menahan bobot sekitar 160
kilogram. “Mungkin kalo ban punya mulut, dia bakal teriak kali ya” kata Santi.
“Sialan lu san” kata Dimas
sambil mengibaskan rambutnya seakan-akan memiliki rambut panjang.
Setelah itu kita
langsung naik ke lantai dua dan membeli tiket bioskop. Kali ini kita nonton
film Transendence, dimana pemeran utamanya dapat hidup dua kali seperti kucing.
Ketika gue menonton film, badan gue merasakan ada hentakan dari kaki orang yang
duduk di atas gue. Dengan refleks, gue memutarkan badan dan betapa terkejutnya
gue ketika melihat dua orang yang sedang berpagutan bibir. Niat ingin marahpun
gue urungkan. Gue fokus lagi menonton film itu.
Tulisan EXIT berwarna
merah akhirnya menyala dan wanita cantik memakai dress hitam sambil merapatkan
kedua telapak tangannya tanda film akan selesai. Film pun selesai dengan
diakhiri kedamaian umat manusia dari bencana teknologi. Lalu Tya dan Santi
mengajak kita ke toko buku Gramedia, kita mengiyakan ajakan mereka.
“Dik, nanti gue
tunjukin ke lu deh buku punya gue yang judulnya KING” kata Dimas.
“Oh yang pernah
diangkat jadi film itu kan?”
“Iya dik. Gue suka
banget sama olahraga bulutangkis. Apalagi Ma Jin” kata Dimas dengan ekspresi
yang seperti memasarkan suatu barang.
“Ma Jin bukannya pemain
ganda puteri?” kata gue dengan heran mengapa dia mengidolakan seorang
olahragawati dari negeri tirai bambu itu.
“Iya, soalnya nettingnya
tipis banget. Gue pengen banget kayak dia”
“Lu kan cowok, ngapain
mau niruin permainan cewek?” keheranan gue menjadi bercabang.
“Iya, gue suka aja”
kata Dimas.
Memang kawan gue yang
satu ini agak gemulai, bahkan lebih gemulai dia daripada wanita pada umumnya.
Tapi dia seru kalo diajak ngobrol, gue ga pernah bosen kalo ngobrol sama dia.
Bukan berarti gue ikutan cucok juga. Hanya dia kalo sedang berbicara, selalu
ekspresif. Obrolan yang biasa kita omongin adalah bulutangkis. Ga ada
berhentinya kalo dia udah ngomongin bulutangkis. Sejak itu dia belum tau kalo
gue adalah atlet bulutangkis.
“Dik, gue padahal main
sama bapak-bapak di deket rumah gue, kok netting gue belum bagus juga yah, udah
gitu gue cepet capek lagi” keluh Dimas.
“Ya elu kurang latihan fisik
kali”
“Emang latihan fisik
apa aja?” tanyanya.
“Lari marathon, lari
sprint sama skiping”
“Ya ampun, berat banget
ya” kata Dimas menunjukkan keputusasaannya.
Hingga suatu hari ada
pertandingan bulutangkis antar sekolah se-Kota Madya Jakarta Utara. Sekolah gue
memberi tugas kepada Dimas dan gue. Pada saat itu Dimas baru tau, kalo gue
adalah pemain bulutangkis. “Lho, kok lu juga ikut dik?” Dimas kaget ketika
melihat gue ikut juga dalam pertandingan.
“Ga tau, sekolah yang
nyuruh gue untuk ikut. Gue mah ikut-ikutan aja ta, cuma bisa main doang, ga
sejago lu kok” kata gue.
“Ah lu bisa aja, dik”
Permainan demi
permainan terus ditunjukkan semua peserta dengan maksimal. Dimas yang sangat
berambisi untuk memenangkan kejuaraan itu, harus mengakui kemenangan lawannya.
Sementara gue, hanya duduk manis karena lawan gue tidak datang dikarenakan
salah satu dari orang tuanya meninggal dunia.
“Dik, gue kalah. Sorry
ya belum bisa ngasih yang terbaik buat sekolah” kata Dimas dengan lesu.
“Iya udah ga apa-apa
kok. Latihan yang lebih rajin lagi” kata gue memberi saran.
“Semoga lu menang ya”
Dimas mendoakan gue.
“Insya Allah”
Dimas istirahat di
tribun dan masih tidak percaya bahwa dirinya dikalahkan dengan mudah. Lalu gue
mendekati dia “Udah lah, ga usah dipikirin lagi, masih banyak kok pertandingan
yang lain setelah ini, yang penting kan lu mau berusaha” kata gue.
“Iya dik”
Tiba giliran gue untuk
bertanding. Babak kedua gue menang, hingga akhirnya gue masuk final melawan
juara bertahan. Dimas belum mengetahui gue masuk final karena dia pulang
duluan. Mungkin dia frustasi karena ambisinya untuk menang, gagal di babak
pertama.
Keesokan harinya gue
mendapat dispensasi untuk memperebutkan juara satu. Rencananya sih gue ga mau
si Dimas tau kalo gue masuk final, tapi rencana gue gagal karena Dimas
datangnya hampir telat dan melihat gue menenteng tas raket. “Lu masuk final
dik?” Tanyanya.
“I…iya”
“Serius lu?”
Gue cuma bisa
mengangguk karena ketahuan Dimas. “Kok lu ga bilang-bilang?” tanyanya lagi.
“Gue bukannya ga mau
ngasih tau. Cuma gue ga mau lu patah semangat aja”
Dimas langsung pergi
ninggalin gue dan masuk ke kelasnya. Gue pun berangkat menuju tempat
pertandingan. Ketika partai final, gue ga menyangka bahwa lawan yang gue hadapi
kurang fit. Alhasil gue menang mudah 21-7 dan 21- 10. Permainan selesai dan gue
yang mewakili Jakarta Utara untuk menghadapi kejuaraan selanjutnya se-DKI
Jakarta.
Kepulangan gue disambut
biasa aja oleh guru-guru. Entah mungkin karena sekolah gue udah biasa dapat
piala, atau mereka menganggap kompetisi adalah hal yang biasa. Tropi yang gue
bawa ke sekolah pun, langsung dimasukkan ke lemari piala bersama piala-piala
yang lain. Tapi bukan penghormatan yang gue cari, hanya permainan yang bagus
yang ingin gue tunjukkan ke orang tua gue.
Setelah bertanding, gue
masuk kelas lagi. Lalu kawan sebangku gue, Lestyo bertanya “Kok lu ga balik
aja? Rajin banget lu”.
“Gue bukannya rajin,
tapi males pulang aja. Lu tau kan gue anak tunggal”
Dua jam berlalu setelah
kepulangan gue dari pertandingan, bel tanda pulang berbunyi. Lalu gue bergegas
untuk keluar kelas dan menuruni tangga. Dari kejauhan, Dimas ngejar gue. “Hei
Dik”
“Apa, Mas?” gue agak
shock ketika seonggok badan yang berbobot lebih dari 95 kilogram berlari
kencang di lantai tiga.
“Lu tadi juara berapa?
Huh… huh.. huh” Tanya Dimas dengan nafas yang baru dikejar kamtib taman lawang.
“Juara, satu” gue agak
takut karena paginya dia ngambek ke gue.
“Wih keren banget.
Lolos seleksi dong?” ternyata dugaan gue salah, Dimas wajahnya sumringah.
“I… iya”
“Dik, kenapa yah, gue
kok ga jago-jago mainnya?” kata Dimas dengan wajah Pou yang belum dikasih
makan.
“Mas, lo tuh sebenernya
udah bagus. Niat lu udah kuat. Cuma lo kurang satu aja”
“Apa dik?”
“Lo kurang gerak”
“Maksudnya?” Dimas
masih belum ngerti.
“Lo terlalu banyak
nanya ke gue tentang bagaimana supaya permainan lo itu jadi bagus. Tapi lo
sendiri ga pernah mau mencoba apa yang udah gue kasih tau. Maaf ya, gue bukan
bermaksud menggurui lo nih” kata gue sambil memegang pundak Dimas.
“Oh gitu yah” matanya
menatap gue dengan nanar.
Lalu kedua tangannya
memegang tangan gue. Dan bilang “Makasih ya, Dik” “I… iya. Mas, bisa lepasin
ga?” gue meminta dia untuk melepaskan tangannya. Mungkin itu adalah bagian
terjijik dari tulisan gue kali ini. Lalu gue pulang dengan sepeda gue.
Kalo orang lain
bertanya mengapa seorang atlet jago dalam bidangnya dan meraih juara,
jawabannya adalah banyak tetes keringat yang bercucuran dari tubuhnya dan waktu
yang terkuras untuk latihan yang keras.
No comments:
Post a Comment