Friday, July 24, 2015

PRIA YANG GEMULAI (GEMUK DAN LUNGLAI)


Hari sabtu adalah hari yang ditunggu oleh kebanyakan anak-anak SMA. Termasuk gue, hari sabtu adalah hari yang gue tunggu-tunggu dibanding hari-hari lainnya. Mengapa hari sabtu? Karena, hari sabtu adalah hari ekstrakurikuler sekolah yang dilanjutkan dengan hang out bareng. Sabtu itu, gue berencana untuk nonton bareng anak-anak yang lain di Mall Kelapa Gading. Setelah ekskul selesai, kita pulang ke rumah masing-masing dan janjian di salah satu rumah kawan gue. “Jam 2 yah, di rumah Tya” teriak Vani sambil memutar tuas gas motornya.

“Iya, hati-hati lo, Van” seru kita sambil melambaikan tangan.

Diantara kawan-kawan gue, gue akui Vani ini orangnya supel banget, dan dia juga memiliki hubungan spesial yang terawet. Selain Vani, ada juga kawan-kawan gue yang ikut, Dimas, Tya, Santi, Pras, dan Imam.
Gue pulang dengan sepeda gue, alasan mengapa gue belum boleh naik motor, katanya sih gue belum bisa naklukin hati perempuan, alasan yang sangat tidak etis. Sampai rumah, gue ngerayu nyokap supaya gue diijinin jalan sama anak-anak. Cara ngerayunya adalah dengan memijat badannya dan memuji-muji hidungnya. Hidung nyokap gue itu imut, jadi enak kalo buat bahan cengan. “Mak, itu waktu pembagian hidung, mama barisan yang paling belakang ya?” kata gue sambil mijitin pundak nyokap.
“Ah, pesek-pesek gini juga bapakmu naksir kan?” nyokap gue sewot.
“Tapi mama nih orangnya irit ya?” Tanya gue lagi.
“Irit kenapa?”
“Iya nafasnya ngirit” kata gue.
“Ah sialan lu”

Nyokap gue sebenernya ga suka dibercandain bawa-bawa fisik apalagi hidungnya. Tapi disamping itu nyokap gue punya kutipan favorit yang pernah dikatakan Rina Nose: Buat apa cari yang mancung, kalo yang pesek aja menarik. Kutipan yang sangat membanggakan diri sendiri.
Setelah selesai mijitin, gue mandi dan dandan sebelum berangkat ke rumah tya. “Ma, berangkat dulu ya” kata gue sambil salim ke nyokap dan bokap gue.
“Udah pake parfum belum?” Tanya nyokap.
“Udahlah ga usah”
“Tunggu dulu” gue nurutin nyokap gue, dan ketika dia kembali, bukan parfum cowok yang dia bawa. Melainkan parfum BVLGARI yang biasanya dipake emak-emak untuk arisan.
“Apa sih ini, BVLGARI udah kaya emak-emak aja” gue langsung pergi bawa motor bokap yang sudah memberi otoritasnya.
Gue naik motor ke rumah Tya dengan seorang diri, karena gue seorang jomblo. Sampai di rumah Tya, gue disambut kawan-kawan gue yang udah menunggu selama setengah jam.
“Lama banget sih lu!” kata Vani marah.
“Sorry ya, tadi di rumah ada ibu-ibu gemuk yang minta dipijitin sama gue, terus ibu-ibu itu satu rumah sama bokap sama gue juga”
“Itu kan emak lo, hahaha” kata Dimas sambil tertawa.
“Iya”

Ga berlama-lama di rumah Tya, kita pun berangkat. Gue lihat Dimas boncengan sama Tya, dan itu ngebuat gue tertawa di sepanjang jalan menuju Mall. Melihat mereka boncengan itu seperti dua minion lagi naik motor.  Badan mereka gemuk di atas sepeda motor. Mungkin kalo peredam kejutnya punya mulut, dia pasti langsung teriak “Tuhan, mengapa beban yang kau berikan melebihi kemampuanku?” Malang sekali dia.
Sepanjang jalan batin gue terus tertawa, apalagi ketika ada polisi tidur yang dilintasi mereka. Perasaan gue bercampuraduk antara takut kerangka motornya patah dan bahagia melihat dua mahluk raksasa naik motor.

Keberuntungan berpihak kepada kami, motor yang mereka tumpangi tidak mengalami luka ringan atau luka parah, hanya bannya yang sedikit kempes karena menahan bobot sekitar 160 kilogram. “Mungkin kalo ban punya mulut, dia bakal teriak kali ya” kata Santi.
“Sialan lu san” kata Dimas sambil mengibaskan rambutnya seakan-akan memiliki rambut panjang.

Setelah itu kita langsung naik ke lantai dua dan membeli tiket bioskop. Kali ini kita nonton film Transendence, dimana pemeran utamanya dapat hidup dua kali seperti kucing. Ketika gue menonton film, badan gue merasakan ada hentakan dari kaki orang yang duduk di atas gue. Dengan refleks, gue memutarkan badan dan betapa terkejutnya gue ketika melihat dua orang yang sedang berpagutan bibir. Niat ingin marahpun gue urungkan. Gue fokus lagi menonton film itu.

Tulisan EXIT berwarna merah akhirnya menyala dan wanita cantik memakai dress hitam sambil merapatkan kedua telapak tangannya tanda film akan selesai. Film pun selesai dengan diakhiri kedamaian umat manusia dari bencana teknologi. Lalu Tya dan Santi mengajak kita ke toko buku Gramedia, kita mengiyakan ajakan mereka.
“Dik, nanti gue tunjukin ke lu deh buku punya gue yang judulnya KING” kata Dimas.
“Oh yang pernah diangkat jadi film itu kan?”
“Iya dik. Gue suka banget sama olahraga bulutangkis. Apalagi Ma Jin” kata Dimas dengan ekspresi yang seperti memasarkan suatu barang.
“Ma Jin bukannya pemain ganda puteri?” kata gue dengan heran mengapa dia mengidolakan seorang olahragawati dari negeri tirai bambu itu.
“Iya, soalnya nettingnya tipis banget. Gue pengen banget kayak dia”
“Lu kan cowok, ngapain mau niruin permainan cewek?” keheranan gue menjadi bercabang.
“Iya, gue suka aja” kata Dimas.

Memang kawan gue yang satu ini agak gemulai, bahkan lebih gemulai dia daripada wanita pada umumnya. Tapi dia seru kalo diajak ngobrol, gue ga pernah bosen kalo ngobrol sama dia. Bukan berarti gue ikutan cucok juga. Hanya dia kalo sedang berbicara, selalu ekspresif. Obrolan yang biasa kita omongin adalah bulutangkis. Ga ada berhentinya kalo dia udah ngomongin bulutangkis. Sejak itu dia belum tau kalo gue adalah atlet bulutangkis.
“Dik, gue padahal main sama bapak-bapak di deket rumah gue, kok netting gue belum bagus juga yah, udah gitu gue cepet capek lagi” keluh Dimas.
“Ya elu kurang latihan fisik kali”
“Emang latihan fisik apa aja?” tanyanya.
“Lari marathon, lari sprint sama skiping”
“Ya ampun, berat banget ya” kata Dimas menunjukkan keputusasaannya.

Hingga suatu hari ada pertandingan bulutangkis antar sekolah se-Kota Madya Jakarta Utara. Sekolah gue memberi tugas kepada Dimas dan gue. Pada saat itu Dimas baru tau, kalo gue adalah pemain bulutangkis. “Lho, kok lu juga ikut dik?” Dimas kaget ketika melihat gue ikut juga dalam pertandingan.
“Ga tau, sekolah yang nyuruh gue untuk ikut. Gue mah ikut-ikutan aja ta, cuma bisa main doang, ga sejago lu kok” kata gue.
“Ah lu bisa aja, dik”

Permainan demi permainan terus ditunjukkan semua peserta dengan maksimal. Dimas yang sangat berambisi untuk memenangkan kejuaraan itu, harus mengakui kemenangan lawannya. Sementara gue, hanya duduk manis karena lawan gue tidak datang dikarenakan salah satu dari orang tuanya meninggal dunia.
“Dik, gue kalah. Sorry ya belum bisa ngasih yang terbaik buat sekolah” kata Dimas dengan lesu.
“Iya udah ga apa-apa kok. Latihan yang lebih rajin lagi” kata gue memberi saran.
“Semoga lu menang ya” Dimas mendoakan gue.
“Insya Allah”

Dimas istirahat di tribun dan masih tidak percaya bahwa dirinya dikalahkan dengan mudah. Lalu gue mendekati dia “Udah lah, ga usah dipikirin lagi, masih banyak kok pertandingan yang lain setelah ini, yang penting kan lu mau berusaha” kata gue.
“Iya dik”

Tiba giliran gue untuk bertanding. Babak kedua gue menang, hingga akhirnya gue masuk final melawan juara bertahan. Dimas belum mengetahui gue masuk final karena dia pulang duluan. Mungkin dia frustasi karena ambisinya untuk menang, gagal di babak pertama.

Keesokan harinya gue mendapat dispensasi untuk memperebutkan juara satu. Rencananya sih gue ga mau si Dimas tau kalo gue masuk final, tapi rencana gue gagal karena Dimas datangnya hampir telat dan melihat gue menenteng tas raket. “Lu masuk final dik?” Tanyanya.
“I…iya”
“Serius lu?”
Gue cuma bisa mengangguk karena ketahuan Dimas. “Kok lu ga bilang-bilang?” tanyanya lagi.
“Gue bukannya ga mau ngasih tau. Cuma gue ga mau lu patah semangat aja”
Dimas langsung pergi ninggalin gue dan masuk ke kelasnya. Gue pun berangkat menuju tempat pertandingan. Ketika partai final, gue ga menyangka bahwa lawan yang gue hadapi kurang fit. Alhasil gue menang mudah 21-7 dan 21- 10. Permainan selesai dan gue yang mewakili Jakarta Utara untuk menghadapi kejuaraan selanjutnya se-DKI Jakarta.

Kepulangan gue disambut biasa aja oleh guru-guru. Entah mungkin karena sekolah gue udah biasa dapat piala, atau mereka menganggap kompetisi adalah hal yang biasa. Tropi yang gue bawa ke sekolah pun, langsung dimasukkan ke lemari piala bersama piala-piala yang lain. Tapi bukan penghormatan yang gue cari, hanya permainan yang bagus yang ingin gue tunjukkan ke orang tua gue.

Setelah bertanding, gue masuk kelas lagi. Lalu kawan sebangku gue, Lestyo bertanya “Kok lu ga balik aja? Rajin banget lu”.
“Gue bukannya rajin, tapi males pulang aja. Lu tau kan gue anak tunggal”
Dua jam berlalu setelah kepulangan gue dari pertandingan, bel tanda pulang berbunyi. Lalu gue bergegas untuk keluar kelas dan menuruni tangga. Dari kejauhan, Dimas ngejar gue. “Hei Dik”
“Apa, Mas?” gue agak shock ketika seonggok badan yang berbobot lebih dari 95 kilogram berlari kencang di lantai tiga.
“Lu tadi juara berapa? Huh… huh.. huh” Tanya Dimas dengan nafas yang baru dikejar kamtib taman lawang.
“Juara, satu” gue agak takut karena paginya dia ngambek ke gue.
“Wih keren banget. Lolos seleksi dong?” ternyata dugaan gue salah, Dimas wajahnya sumringah.
“I… iya”
“Dik, kenapa yah, gue kok ga jago-jago mainnya?” kata Dimas dengan wajah Pou yang belum dikasih makan.
“Mas, lo tuh sebenernya udah bagus. Niat lu udah kuat. Cuma lo kurang satu aja”
“Apa dik?”
“Lo kurang gerak”
“Maksudnya?” Dimas masih belum ngerti.
“Lo terlalu banyak nanya ke gue tentang bagaimana supaya permainan lo itu jadi bagus. Tapi lo sendiri ga pernah mau mencoba apa yang udah gue kasih tau. Maaf ya, gue bukan bermaksud menggurui lo nih” kata gue sambil memegang pundak Dimas.
“Oh gitu yah” matanya menatap gue dengan nanar.
 Lalu kedua tangannya memegang tangan gue. Dan bilang “Makasih ya, Dik” “I… iya. Mas, bisa lepasin ga?” gue meminta dia untuk melepaskan tangannya. Mungkin itu adalah bagian terjijik dari tulisan gue kali ini. Lalu gue pulang dengan sepeda gue.

Kalo orang lain bertanya mengapa seorang atlet jago dalam bidangnya dan meraih juara, jawabannya adalah banyak tetes keringat yang bercucuran dari tubuhnya dan waktu yang terkuras untuk latihan yang keras.

No comments:

Post a Comment