Tuesday, July 7, 2015

Polosnya Gue

Hal yang terbaik dalam hidup ini adalah selalu berpikiran positif kepada suatu hal. Ya, itulah yang gue pegang sampai saat ini. Tanpa ada curiga sedikitpun apa yang dikatakan orang lain. Dengan kata lain, gue adalah orang yang sangat polos.
Gue ingat ketika ada seorang gadis yang amat cantik dan juga sangat pintar membolak-balikan hati gue. Pada saat itu gue duduk di bangku SMA kelas 12. Berawal dari gue menjelaskan tipe handphone Android berikut OSnya kepada teman sebangkunya, layaknya seperti seorang 'sales promotion boy'.
"Ya, jadi kalo yang lu punya itu Ice Cream Sandwich. Nanti gue keluar dulu yah, gue kasih tau yang Jelly Bean" jelas gue.
"Eh, jangan-jangan" kata Mona.

Tanpa menggubris kata Mona, gue langsung pergi ke kelas sebelah dan meminjam ponsel Dhana.
Gue memang suka yang namanya menjelaskan apa yang gue tau kepada teman-teman gue, termasuk berpromosi tanpa komisi seperti yang gue lakukan kali ini.
"Nah, ini yang OSnya Jelly Bean" gue menunjuk ponsel Dhana yang gue pinjem secara paksa.
"Terus, bedanya apa?" Gadis yang berada di samping Mona bertanya.
"Kalo Ice Cream Sandwich ini udah sekitar satu tahun yang lalu diluncurkan. Tapi kalo yang Jelly Bean ini, masih baru banget. Terus juga Jelly Bean lebih cepat responnya. Tapi tergantung Prosesor sama RAM juga sih" cerocos gue.
"RAM itu apa?" Tanya dia lagi.
"RAM itu Random Access Memory, yang gunanya untuk memanage dan mempercepat pemrosesan data pada Handphone, jadi kalo semakin besar RAM, semakin cepat juga proses datanya" jelas gue dengan gaya mas-mas yang promosi di Shop Chanel.
"Oh, gitu ya" gadis itu sambil mengangguk.

Selang beberapa jam dari promosi tanpa arah tadi, akhirnya wali kelas di kelas yang baru, datang. Namanya Pak Koestiyono. Orangnya tinggi, selalu memakai peci dan memiliki dua tanda hitam di dahinya yang menandakan orang tersebut rajin sholat. Wali kelas baru gue ini udah gue kenal. Sebelumnya, beliau mengajar gue di kelas 11 pelajaran matematika. Disamping itu, beliau juga telah mengubah paradigma siswa-siswinya terhadap ilmu matematika yang sebelumnya dianggap membuat stres, menjadi pelajaran yang sangat diminati dan ditunggu-tunggu pelajarannya.

Ditengah perbincangan di awal pertemuan, Pak Koes mengabsen nama-nama yang tercantum di absen sekolah. Dan di saat itulah gue mengenal gadis yang banyak bertanya tadi. Namanya adalah Vio. Entah hal apa yang membuat gue semakin penasaran dengan gadis cantik itu. Hingga akhirnya, dia meminjam buku gue.
"Dik, tadi apa aja yang perlu dibawa, boleh gue lihat catatan lo?"
"Oh iya, ini" Dengan mata yang seperti menatap pemandangan yang indah dan menyejukan hati.
***

Pulang sekolah, gue langsung pulang tanpa memikirkan buku yang dipinjam Vio. Ketika sampai di rumah gue kebingungan mencari buku itu seperti mencari jarum di dalam jerami. Dan ternyata tidak ada. Pikiran gue udah pasrah. Tiba-tiba ponsel gue berdering dan melihat ada sms masuk
"Dik, ini gue Vio. Maaf ya tadi gue lupa ngebalikin".
"Oh, iya, iya ga apa-apa kok. Tapi lo bisa smsin apa aja yang perlu dibawa untuk jam pelajaran matematika?' Balas gue.
'Buku kotak-kotak, penggaris, pensil, sama buku rumus dari kelas 10 s/d kelas 11" jawabnya.
"Oke makasih ya, Vio"
Pikiran terus mengkhayalkan dirinya. Nomor hp udah dapet, tinggal bangun komunikasinya nih.
***
Keesokan harinya seperti biasa, kita cuma berkenalan dengan guru-guru baru kita sebelum masuk ke pelajaran inti. Sebenernya sih, momen ini ga penting banget. Karena kita semua udah kenal dengan semua guru yang akan mengajar kita. Wajah dan gaya mengajarnya pun ga asing lagi. Ada juga beberapa guru yang langsung mengajar pelajaran inti, seperti bu Rahayu, guru ekonomi yang terkenal dengan ketegasannya.
Pernah suatu ketika, bu Rahayu sedang mengajar tentang manajemen pada top level, bu Rahayu berkata 'Nah, jika saya berada pada level manajemen yang tinggi dan tanpa mengatur langsung, saya disebut sebagai bos' Lalu suara samar-samar ditengah kebisingan diskusi, terdengar "Iya bu, BOS GILA" mungkin beberapa orang tidak mendengar itu. Tapi bu Rahayu langsung meninggikan suaranya, "HEI, SIAPA YANG BILANG BOS GILA TADI?" Semuanya pada diam seperti melihat garangnya seorang militer yang sedang ingin menghukum prajuritnya. Dan ketika gue ingin pulang, dia mengajak gue untuk ke mejanya dan menginterogasi gue. Dengan tatapan mata yang tajam dia mulai bertanya ke gue "Dik, tadi kamu tau ga, siapa yang ngatain ibu 'BOS GILA' tadi?"
Seketika itu kaki gue langsung gemetar dan jantung gue seperti mau copot, paru-paru gue hampir basah, sorry lebay.
Lalu gue jawab setenang mungkin, "Maaf ya, bu. Saya memang mendengar kata 'BOS GILA' tadi. Cuma saya benar-benar ga tau, siapa yang bilang. Bukan saya menyembunyikan hal itu dari ibu"
"Oh, begitu. Baik lah. Kalo ketahuan siapa yang bilang seperti itu, ibu akan panggil orang tuanya"

Lalu gue pulang dengan pikiran yang tertekan oleh verbal yang dilakukan oleh guru ekonomi gue tadi.
Meskipun, beliau 'Killer' dalam mengajar. Killer yang gue maksud, bukan pembunuh berantai seperti Rian Jombang. Tapi, tegas dan memiliki peraturan yang harus dipatuhi oleh semua muridnya. Beliau juga punya sisi Humoris dan Humanis. Jadi persepsi guru 'Killer' bukan berarti setiap mengajar selalu mengalami temperatur yang tinggi, melainkan ketegasan dalam mengajar.
Oke, kita lanjut ke Vio. Ya, setelah bu Rahayu meninggalkan kelas, Vio menghampiri gue. Dan bilang 'Terima Kasih ya bukunya'.
'Iya sama-sama' kata gue dengan tatapan bahagia.

Setelah kejadian itu, Vio semakin bersikap manis ke gue, sms setiap menit layaknya orang yang lagi pacaran. Dan satu yang membuat gue yakin kalo dia itu suka sama gue adalah dia orang yang mengucapkan ulang tahun pada pukul 12 malam. Karena gue cowok yang pintar dalam pelajaran, namun aslinya bodoh. Gue terus meladeni sikap manisnya, tanpa mencari tahu apa tujuannya.
Lalu gue merasa ada yang berubah dari diri gue. Gue merasakan cemburu yang amat dalam ketika Vio meminta diajarkan matematika oleh Estu, teman sekelasnya waktu kelas sebelasnya. Gue berpikiran, gue ini jago matematika di kelas ini, tapi kenapa dia minta diajarkan oleh orang lain. Hati dan pikiran gue menjadi panas.
Tapi karena sikap manisnya dia ke gue, akhirnya gue luluh lagi dan seperti biasa lagi. Seakan tersihir oleh kata-katanya yang selalu membuat hati ini menjadi terbelenggu.
***

Dua bulan kita jalani 'PERSAHABATAN' tanpa arah ini dengan baik. Dari datang ke sekolah disambut dengan senyumnya yang membuat ngefly, ucapan manis yang membuat semangat, dan perpisahan ketika pulang seakan menjadi momen yang tidak diinginkan. Sampai akhirnya ketika pulang gue mengantarkan dia sampai pinggir jalan, dan gue bertanya "Vi, apa sih yang ngebuat lo mau deket dengan gue? Gue kan cuma cowok biasa"
"Lo itu legowo, bisa dipercaya, dan pinter" jawabnya lembut.
"Kenapa lo bisa ngomong kaya gitu?"
"Ya... Selama ini kan lo yang selalu ngajarin gue dengan sabar" jawabnya dengan halus.
"Dik, kalo gue udah percaya dengan seseorang, gue ga akan pernah lupain orang itu. Tapi, sekali aja dia mengkhianati gue, gue ga mau kenal dia lagi. Jadi tolong ya, lo jaga kepercayaan gue" tambahnya sambil memegang lengan gue.
Gue cuma bisa mengangguk. "Ya udah, dik. Gue pulang dulu ya" kata dia pamit.
"Iya, hati-hati ya, Vi" kata gue sambil melambaikan tangan. Gue juga balik lagi ke sekolah untuk mengambil sepeda gue dan pulang.
Menentukan antara untuk menembak dan tidak. Gue meminta saran kepada Yani dan Ayu, karena mereka adalah teman sekelas Vio waktu kelas 11, dan mereka juga sahabat gue dari kelas 10. Pendapat mereka sama. Sama-sama untuk melarang gue menyatakan perasaan gue. Alasannya juga sama, karena gue ga selevel dengan Vio. Gue cuma anak tukang nasi uduk dan Vio anak orang berada.

Gue berpikir selama beberapa hari. Cinta kan ga memandang harta dan derajat seseorang. Cinta itu memandang perasaan hati seseorang apakah cocok atau tidaknya, nyaman atau tidaknya seseorang dengan orang yang ia cintai.
Dalam masa berpikir itu, gue tetap menjalani kegiatan gue sebagai seorang atlet amatir waktu itu. Lari sore yang biasanya cuma 8 Kilometer, setelah mengenal dia, gue bisa menaklukan medan jalan yang berjarak 9 Kilometer menuju arah rumah dia. Ternyata Cinta itu dapat melampaui logika dan tidak dapat terpikirkan. Cinta mampu menguatkan seseorang yang lemah dan melemahkan orang yang kuat. Dan itu terjadi pada diri gue saat itu. Dari sebelumnya gue bisa berhenti 2 sampai 3 kali untuk istirahat. Ketika setelah mengenal Vio, gue lari 9 Kilometer tanpa istirahat. Love is Power.
Rasa cinta yang gue curahkan, semata-mata hanya untuk dia seorang. Bahkan ketika hujan menerjang di sore hari ketika gue lari marathon, gue lawan hujan itu demi mengantarkan soal kisi-kisi matematika yang akan menjadi pelajaran UTS keesokan harinya. 

Selain dia yang udah mengubah gue dari yang malas fisik, dia juga membuat gue menjadi suka menulis-nulis sesuatu yang sedang gue alami, alias buat diari. Dari diari itu, gue tulis semuanya tentang dia, awal bertemu dengan dia. Sampai sifat dia yang menyenangkan. Sebelumnya gue cuma memiliki hobi main bulutangkis, gue juga jadi hobi untuk menulis. Ya, wanita itu sangat mudah menaklukan hati dan pikiran gue.
Keesokan harinya, setelah UTS selesai, gue memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaan gue.
"Vi, boleh ga, gue ngomong sesuatu ke lu" karena pada saat itu Vio masih sibuk dengan tasnya dia cuma jawab "Ya, apa?"
"Gini, Vi. Lu ngerti kan?" Kata gue gugup, dan mental gue masih cemen.
"Ngerti apa?" Dia bingung.
Di hati gue mengalami perang batin antara untuk mengungkapkan atau ga.
Kalo di film-film, di sisi kanan dan kiri gue terdapat malaikat yang saling berdebat.
Malaikat putih menyarankan 'Jangan dulu, dik. Waktunya kurang tepat'
Malaikat merah bilang 'Udah, ngapain lu nunggu lagi. Tembak aja, cemen banget lu'
Pikiran yang sangat rumit dan harus diputuskan pada saat itu juga. Mungkin bagi beberapa cowok, momen ini adalah momen yang sangat mudah untuk ditaklukan. Beda dengan gue yang bermental lemah dan belum bisa memikirkan apa hal yang akan terjadi setelah itu.
Lalu gue memutuskan untuk memberanikan diri mengungkapkan isi hati gue.
"Vi, gue, gue, gue cinta sama lo" yah... akhirnya plong juga.
"Hah? Lu beneran?" Vio sontak berhenti membereskan kertas-kertas yang ada di dalam tasnya.
"Iya, lu kalo mau nolak juga ga apa-apa kok. Kalo lu mau terima, mungkin gue adalah lelaki terbahagia yang pernah memilih lu" kata-kata yang sangat pesimis terlontar dari mulut gue.
"Hmm... Kasih gue waktu ya, sampai besok" matanya terus menatap gue.
"Iya, Vi. Lu mau pulang? Gue anter sampe depan yah?"
"Hmm... Ga usah deh. Gue dijemput bokap, kok" Vio akhirnya balik bareng bokapnya naik motor.
*****
Sesampai di rumah, bokap langsung ngajak gue untuk latihan bulutangkis ke daerah Menteng, Jakarta Timur. Entah apa yang membuat gue lebih baik dalam mengolah Shuttlecock hari itu, yang jelas gue ga biasanya sebagus hari itu. Cinta yang membuat gue manjadi lebih kuat seperti memakai dopping. Ternyata benar apa yang dikatakan Penguin Madagaskar: Cinta adalah zat kimia dalam otak yang membuat seseorang menjadi lebih bahagia. Dan kebahagiaan itu menjadi kekuatan.
Ketika gue istirahat dan menyeka keringat, Om Bagus menghampiri gue "Tumben, Pur. Kamu agak bagusan"
Entah mengapa panggilan Belpur yang mereka sukai terhadap gue. Oh iya, Belpur itu, kepanjangannya adalah Belalang Tempur. Yah, karena mungkin gue mainnya seperti orang tawuran yang siap tempur, dan warna coklat seperti kulit gue.

Hari yang gue tunggu, akhirnya tiba. Seperti biasa, gue selalu disambut hangat oleh Vio. Gue bersikap dingin ke dia, dan bahkan ga mau ada dialog sedikit pun. Supaya ketika dia menerima atau menolak gue, itu suasananya dapet.
Bel pulang sekolah, berbunyi. Seperti tidak ada apa-apa, gue langsung keluar kelas menuju tangga. Dari pintu kelas, Vio memanggil gue "Dik, tungguin!" Otak gue menghentikan langkah dan menunggu Vio. Vio menghampiri gue dan gue dibawa ke depan pintu ruang serbaguna, gue hanya bisa mengikuti dia. "Dik" Vio membuka perbincangan. "Iya, ada apa?"
"Gue mau menjawab yang kemarin" Tiba-tiba Malvin, teman sekaligus tetangganya Vio, datang dan membuyarkan suasana. Malvin mendorong dan menahan Vio yang hampir jatuh. Dan momen itu adalah momen yang terburuk buat gue. Tapi Vio tertawa-tawa seakan ga ada gue disitu.
"Sorry ya, Dik. Malvin memang rese orangnya"
"Iya, ga apa-apa" kata gue sambil memasang muka Poker face.
"Dik, lu mau gue jujur atau engga?" Mata kita bertemu di antara sinar yang menerangi koridor sekolah.
"Ya itu sih tergantung lu, mau mulai yang mana" kata gue.
"Maaf ya sebelumnya, gue belum bisa buka hati untuk siapapun. Karena bokap gue ngelarang gue untuk pacaran dengan siapapun" wajah sendunya membuat hati gue semakin jatuh hati meskipun hati ini jatuh ke lantai berkeping-keping bak rumah yang baru digusur. 
"Alasan klasik" hati gue berkata. Gue cuma bisa terdiam membisu walaupun tubuh ini gagal menjadi lukisan di hatinya.   
***

Hari-hari setelah peristiwa itu, awalnya memang tidak ada apa-apa. Namun, pikiran gue mulai kacau sendiri. Jadilah gue ga bicara sama sekali ke dia selama satu bulan. 

Selama satu bulan itu, gue selalu memposting hal-hal yang ga pantas ditiru, seperti mengejek, membuka aib, dan sebagainya. Kalo sekarang sih, gue nyesel mengapa gue lakukan itu. Andai itu ga terjadi, persahabatan gue sama dia, mungkin bisa bertahan sampai hari ini. 

Satu bulan tanpa bicara, akhirnya gue duluan yang minta maaf. Gue akui, gue yang salah. Karena gue termakan emosi sendiri. Tapi kawan-kawan gue selalu bilang Vio yang salah karena memberi harapan palsu ke gue meskipun gue ga merasakan harapan palsu itu. 

"Vi, maafin gue ya. Gue akui, gue yang salah kok" ya, tujuan lain dari minta maaf adalah mengurangi beban supaya lebih percaya diri lagi ketika akan menghadapi pertandingan.
"Ga, lu ga salah, kok. Gue yang salah udah PHP in lu" Lalu kita berjabat tangan tanda minta maaf udah selesai. 
***

Tiga bulan setelah gue baikan, entah mengapa hati masih ingin memilikinya walaupun peluangnya adalah mustahil. Gue memberanikan diri untuk ngajak pulang bareng dengan sepeda gue, tanpa diduga, dia mau. Dan orang-orang yang ada di sekitar gue, bingung dengan keadaan itu. Meskipun gue dirundung atau dihujat, gue terima itu sebagai hukuman karena udah mengumbar dan mengejek Vio. 

Gue bahagia ketika Tuhan mempertemukan gue dengan Vio di akhir masa-masa gue memakai seragam putih abu-abu. Menurut gue itu adalah salah satu anugerah yang indah dari sekian banyak anugerah Tuhan yang udah diberikan kepada gue. Gue banyak belajar dari dirinya. Kalo Vio membaca tulisan gue ini, gue minta maaf yang sebesar-besarnya karena telah membuat hidup lu menjadi risih atau kesal sama gue. Sekali lagi, Terima Kasih Mentari Dari Jogjakarta.

No comments:

Post a Comment