Lalu setelah bel pulang gue bercermin. Dengan pedenya gue masuk kamar langsung bercermin. Baru gue liat cermin dengan waktu 0.5 detik gue langsung menjauhi cermin itu. "Apa yang gue lihat tadi?" Tanya gue dalam hati. Perlahan gue melihat cermin itu lagi. Dengan menutup mata dan agak perlahan, gue memberanikan diri untuk membuka mata. "Ya ampun. Ke mana muka gue yang dulu?" Kalimat itu yang keluar dari mulut gue. Tanpa sadar gue menginjak jebakan tikus yang sudah terpasa di kaki gue. "Huaaaaahh...." Teriak gue. Tapi, tidak ada yang menggubris sama sekali. Hari itu memang gue mendapatkan percobaan yang bertubi-tubi. Dari ejekan sampe jebakan.
Selama gue jadi anak tunggal, gue ini terganteng diantara kakak dan adik gue. Tapi mengapa sekarang almamater kegantengan gue hilang? Ada apa ini? Sudahlah.
Setiap gue lihat ada orang yang lebih ancur daripada gue, gue bersyukur dalam hati "Syukurlah, ternyata masih banyak orang yang lebih hancur daripada gue".
Sebelum gue duduk di kelas XI ini, ada yang senasib sama gue. Kawan gue yang bernama Ali Akbar, ya beda tipis lah sama gue. Bagaikan pinang dibelah blender (Ancur dong haha).
Gue liat Ali itu bagaikan saudara senasib sepenanggungan gue. Kita memiliki tingkat kehancuran wajah yang sama. Makanya setiap gue ketemu Ali, gue selalu rendah hati dan merasakan apa yang Ali rasakan. Sama-sama mendapat predikat yang sama yaitu; jelek.
Ngomong-ngomong tentang impian, cita-cita gue waktu kecil gue mau jadi Profesor Salju atau yang akrab disapa Santa Clause. Jadi Santa Clause itu ternyata pekerjaan yang asik. Dia nganterin hadiah-hadiah kepada anak-anak di selurug dunia ketika menjelang natal. Udah gitu dia punya jenggot albino yang membuat anak-anak ingin mengemut dan memakannya sebagai gulali. Udah gitu dia ga pernah olah raga sampe-sampe perutnya buncit kaya tabung gas tiga kilo. Tapi itulah impian gue waktu kecil yang bener-bener ngaco dan freak banget.
Waktu menjelang kenaikan kelas 1 SMP ke kelas 2 SMP, gue bercita-cita kalo dewasa nanti gue mau jadi penyanyi. Gue terinspirasi dari pencarian bakat menyanyi Indonesian Idol. Setiap kali gue nyetel musik, gue selalu ikut nyanyi seakan-akan gue duet sama penyanyi aslinya (padahal mah engga). Sampe-sampe ada yang mengkritik dengan komentarnya yang sangat pedas "Dik, lo nyanyi emang bagus. Tapi, lebih bagus lagi lo diem". Komentar lain datang dari sahabat gue si Arif "Dik, lo kan jago nyanyi, kenapa lo ga jadi tukang becak aja?" Itu komentar yang sangat-sangat ngaco plus goblok. Dari dua komentar itu, gue patah semangat untuk meraih cita-cita sebagai penyanyi profesional.
Bulan demi bulan silih berganti hingga gue masuk Sekolah Menengah Atas. Di kelas satu SMA gue berantusias dan berambisi untuk menjadi seorang anak Alay yang notabene ga punya tujuan hidup sama sekali. Tapi, yang gue tiru dari anak Alay adalah gaya bicara dan tulisannya yang super duper ngebikin orang sakit mata. Bahkan gue pernah bangga jadi anak Alay dan mendapat kritik yang sangat membuat gue menjadi malu menjadi anak Alay "Ih jadi anak Alay kok bangga. Najis gue mah" itulah komentar yang membuat gue melepas almamater keAlayan gue.
Di jenjang yang selanjutnya, kelas 2 SMA ini gue bercita-cita menjadi seorang Magister Management lulusan Universitas Negeri Jakarta. Rintangan silih berganti datang, dari yang ringan sampe yang mendekati sulit. Tapi, itulah hidup dimana kita harus berusaha di setiap kesempatan datang.
No comments:
Post a Comment